-¦- -¦- -¦- 48 -¦- -¦- -¦-

6 1 0
                                    

Melintas begitu cepat, Dewa langsung membawa Fifi pergi ke sebuah klinik terdekat. Gadis itu sempat menolak masuk karena dia pikir ini hanya tergores, jika dia berikan betadine sedikit dan plester lambat laun akan sembuh nantinya. Pergi diobati ke klinik rasanya agak berlebihan. Namun Dewa tidak menerima penolakan itu, dia menyeretnya masuk dan terpaksa menerima pengobatan itu.

Dia dibawa ke ruang gawat darurat, diobati sebentar. Dan seperti apa katanya, dokter bilang itu hanya tergores, memang agak sedikit dalam tapi tidak begitu berbahaya cuman jelas akan meninggalkan bekas dilengannya itu nanti. Sementara memar di lengan kanannya, dokter bilang itu akan hilang dengan sendirinya tapi dengan baik dia akan memberikan obat untuknya agar lebih cepat sembuh. Tapi Dewa masih bersikukuh dan bersikap begitu berlebihan. Meminta agar tangan Fifi untuk diperban dua-duanya. Jelas permintaanya aneh tapi permintaannya tetap dilakukan. Walau sebelum itu terjadi, dokter meledeknya jika mereka pasangan yang serasih.

Membuat Fifi jadi semakin jengkel.

Dan sekarang di depan pintu klinik, dia tampak seperti gadis yang selamat dari kecelakaan. Ya, terjebak di tengah tawuran juga sebuah kecelakan. Fifi berdiri tidak semangat di depan klinik, tidak peduli orang lalu lalang melihatnya. Sudah benar sejak lama dia sadari, pergi bersama entah dengan Wahyu atau Dewa tidak ada yang bagus. Itu sebabnya dia tidak bisa memikirkan siapa yang harus dia pilih.

Dua orang itu gila.

Tidak lama Dewa keluar dari klinik, Fifi tidak menyadarinya sampai sebuah jaket bertengger di kedua pundaknya. Pembalap ini memberikan jaketnya, membuatnya kebingungan setengah mati. Juga gugup setengah mati. "Gimana keadaan lo?" tanyanya.

Fifi menaikan kedua bahunya. "Masih hidup." katanya santai dengan senyuman getirnya.

"Kayanya cuman lo, ya, masih setenang ini setelah terjebak di tengah-tengah tawuran. Lo menikmati, kan? Lo, kan, suka adrenalin. Dasar cewek gila." ledek Dewa. Laki-laki itu melengos pergi ke parkiran. "Ayo, gue anter lo pulang."

Fifi mencibir tanpa suara, mengikuti pembalap itu ke motornya. Tapi kemudian bicara saat Dewa berniat mengenakan helmnya. "Lo pasti bakalan nagih uang pengobatan, kan?" tuduh Fifi curiga. Dewa mendengar itu jadi menghela napas lelah. "Tenang, gue bakalan ganti."

"Lo lagi menghindarin gue, ya?" tukasnya. Fifi menolak menjawab, menarik ujung jaket untuk semakin memeluknya. "Gara-gara kemarin?"

"Nggak juga." balas Fifi jutek.

Dewa meletakan helmnya. Berdiri di hadapan gadis itu. Dengan wajah dinginnya. "Gitu?" katanya menggantung. Fifi yang penasaran akhirnya mendongak, mendapati pembalap itu memasang wajah tidak senangnya. "Apa lo takut gara-gara si Reza ngamuk kemarin?" tebaknya. "Ah, apa si Reza suruh lo jauhin gue?"

Fifi memutar bola matanya malas. "Dari dia tahu lo sekelas sama gue juga dia udah suruh gue jauhin lo."

"Hah? Wah, kebangetan. Salah gue apa?" protes Dewa.

"Reza tuh sepupu gue. Wajarlah dia khawatir." katanya ketus. "Apa lagi sama cowok modelan kaya lo."

Dewa menyender pada Noel, menaikan satu kakinya dipedal motor. Melipat tangannya di dada. "Khawatir sama posesif emang nggak beda jauh." komennya sensi. "Jangan-jangan dia suka sama lo."

Sontak Fifi langsung menginjak kaki Dewa, sensi mendapat tuduhan begitu. "Reza bukan orang begitu, ya! Gitu-gitu gue banyak hutang budi sama dia. Jangan ngomong sembarangan lo."

Dewa mengeluh sakit. Tapi masih tetap bicara. "Santai dong. Jangan-jangan lo lagi yang suka sama dia!" Fifi berniat melayangkan pukulannya tapi dia tahan. Dewa refleks melindungi wajahnya sembari cengengesan karena senang menjahili gadis itu. Tapi selanjutnya, Fifi diam. Terlihat jelas wajahnya agak murung. Menyentuh pergelangan tangannya. Melihat itu Dewa jadi khawatir. "Kenapa? Masih sakit?"

How To Get YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang