-¦- -¦- -¦- 23 -¦- -¦- -¦-

33 2 1
                                    

Sebuah video yang memperlihatkan seorang siswa yang melemparkan seplastik tepung ke arah markas 08, dia melakukannya dari arah belakang pos ronda yang di jadikan markas. Mereka yang tengah duduk santai seluruhnya termandikan tepung. Lalu setelah itu, berganti dengan video anak 08 yang mengejar satu orang seperti seorang maling.

Bukannya Fifi cenayang, tapi di matanya itu jelas Wahyu dan Dewa.

Dia berdeham canggung. Mengusap telungkuknya bingung. Sekarang pertanyaannya tentang kejadian yang menimpa Dewa kemarin agak terjawab. Sementara Acha, dia menarik ponsel miliknya. Kembali memasukkannya ke dalam saku. "Ya, nggak mau nuduh si tapi lo liat si Wahyu, tuh!" Fifi sontak menoleh ke arah yang Acha tunjuk, meja kantin di ujung tempat biasanya Wahyu dan tiga ekornya berada saat jam istirahat. Di sana suasananya agak muram. Membuat beberapa siswa yang ada di dekat mereka otomatis menjauh bergidik ngeri.

Keempatnya punya luka memar di wajah mereka. Dan jelas paling parah adalah Wahyu. Pelipisnya di plester dan ada beberapa luka lainnya. Dan pentolannya itu saat ini tengah tertangkap basah menatap padanya. Membuat Fifi membuang muka panik. Dia tidak tahu apa yang sudah terjadi, tapi melihat tatapannya barusan sepertinya masalahnya begitu buruk. "Apa nggak kebetulan mereka babak belur gitu setelah videonya ada?" kata Acha lagi.

Fifi berdecak frustasi, mengeleng heran. "Ya----iya." Balasnya pasrah. Kembali menghadap pada temannya. "Dapet darimana lo videonya?"

Acha menarikan kedua bahunya, menyantap somai miliknya. "Lagi viral di antara anak-anak. Terutama kelasan gue, di bagi ke grup. Beberapa pada nebak-nebak siapa orangnya." katanya. Tapi kemudian Acha tertawa getir. "Sebenarnya si lebih ke arah sindir si Wahyu. Lagian siapapun juga sadar itu dia sama si Dewa,"

"Huft. Kayanya bakalan panjang nih urusannya," cibir Fifi. Dia mengaduk es teh miliknya, menyedotnya tidak selera. "Pantesan dari tadi pagi si Dewa mukanya jutek banget. Gue nggak heran kalau bentar lagi mereka bakalan ribut," Kemudian senyuman iblisnya langsung muncul. "Nggak papa, nanti gue jadi penontonnya. Ngehahahaha!"

"Gue si curiga kalau ini ada hubungannya sama masalah lo kemarin," sela Acha.

Fifi mengerutkan dahinya. "Masalah yang mana?"

"Yang lo dipalak, lah!" Acha menjentikkan jarinya yakin. "Plus kemarin. Gue yakin si Wahyu nyamperin lo, kan? Dia ngomong apa?"

Fifi berdecak kesal. Menolak mengingat terakhir kali dia bicara pada Wahyu. Rasanya menyebalkan. "Nggak ada! Gue lagi males ngomong sama dia."

"Kenapa?" tanya Acha bingung.

Fifi menghela napas malas. "Rumit kalau di jelasin. Intinya, gue nggak mau dipalak lagi jadi mau nggak mau gue harus jauhin dia,"

Acha tertawa geli. "Dih, aneh. Biasanya lo seneng dipalak. Kenapa malah jadi nggak mau?"

"Kalau dipalak sama cowok ganteng, keren, tinggi trus bak malaikat nggak papa, deh. Rela gue juga. Tapi masalahnya ini yang malak anak 08. Rela-rela gue bisa-bisa mati," ungkapnya. "Lagian apa urusannya si Wahyu begitu gara-gara masalah gue, gue bukan siapa-siapa dia, Cha. Gue yakin dia begitu gara-gara masalah si Iqbal di serang,"

"Ya, gue si curiga dia suka sama lo!" sosor Acha lancar. "Lagian cowok mana si yang sebegitu pedulinya di bodo amatin sama lo. Kalau orang lain yang lo bodo amatin, lo yakin mereka bakalan kaya si Wahyu?"

Selalu kalimat Acha membuatnya terdiam. Seperti permainan catur dia skak mat. Kehabisan kata-kata. Dia bukan gadis sebodoh dan sepolos itu juga, tahu dan memang menyadari laki-laki itu memiliki perasaan padanya. Cuman entah mengapa rasanya dia agak dua kali berpikir untuk menerima hal itu. Bukannya apa, dia saja masih tidak yakin bagaimana perasaannya. Jika membicarakan Wahyu, yang ada di pikirannya hanyalah cowok dengan sebutan pentolan sekolah.

How To Get YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang