-¦- -¦- -¦- 31 -¦- -¦- -¦-

22 2 0
                                    

Duduk di meja perpustakaan, mata tajam Dewa masih belum hilang. Masih terus melayangkan tatapan itu pada Fifi. Gadis itu ada di depannya, tampak tidak peduli. Terus saja sibuk menyalin tugas dari buku. Mengelak dengan kata cemburu, tapi sikapnya ini jelas sudah berlebihan.

"Heh, cewek gila!" panggil Dewa ketus. Meski berbisik gadis itu dengar, masih tetap mengabaikannya, pura-pura dirinya ini tidak ada. Kesal akhirnya kakinya di bawah turun tangan. Menendang kaki Fifi di sana. Gadis itu mengeluh sakit, masih mencoba mengabaikan laki-laki di depannya. "Oi! Gue tahu lo denger!"

Fifi berdecak, membalas ogah-ogahan. "Nggak usah ganguin orang! Urusin tuh kerjaan lo sendiri!"

Kaki Dewa di bawah sana kembali menendang. Bicara sinis. "Jadi, selain jadi cewek pelupa lo juga labil."

Karena kebetulan kesabaran Fifi saat ini setipis tisu, dia tidak bisa menoleransi untuk kedepannya. Kakinya membalas perlakuan kekerasan yang sejak tadi diterima. Menendang dengan keras pada tulang kering Dewa di sana. Pembalap ini jelas mengeluh sakit. "Maksud lo apaan?"

Dewa meringkis sakit. "Lo kenain tulang gue, sialan! Anjir, sakit!"

Tidak ada rasa bersalah, malah gadis itu memutar bola matanya malas. Menganggap laki-laki ini terlalu berlebihan dan didramatisir. Melanjutkan menulis tugasnya. Lebih cepat dia rapih, lebih cepat dia bisa pergi dari si pembalap pengganggu ini. Habis serius, sejak pagi ini sikapnya benar-benar tidak jelas. Sepertinya dia tengah bosan atau mencari mangsa baru untuk dia gangu atau permainkan. Dan sialnya, laki-laki ini salah memilih targetnya. "Kalau lo bosen mendingan cari orang lain buat di gangu. Gue lagi nggak mau ngeladenin lo!" cibirnya.

Dewa duduk dengan berang. Memukul meja perpustakaan walau tidak keras. "Heh! Lo bilang lo mau jauhin si Wahyu?!"

Gadis itu membalas singkat. "Trus?"

"Hah? Trus?" Ulangnya dongkol. Dia mendekat, mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya. Tampilannya jadi seperti tengah menginterogasi. "Heh, lo suruh gue buat jauhin lo dari si Wahyu. Trus apa? Foto? Wah! Lo sangat membantu sekali."

"Itu foto biasa. Semua orang bebas foto." komennya tidak acuh. Menghela napas lelah. "Lagian pas waktu itu gue sempat merasa nggak harus buat jauhin dia."

"Kenapa?!" sentaknya sensi.

Suaranya agak keras, Fifi jadi terkejut. Saat Dewa masih terus menatapnya berang, gadis itu melirik ke sana kemari. Beberapa orang yang ikut terkejut melihat ke arah keduanya. Situasinya jadi canggung. "Heh, kita lagi di perpustakaan! Lo berisik!"

"Huh?! Sempat? Sempat merasa harus nggak jauhin dia?" Dewa menyenderkan dirinya di kursi. Merasa kecewa setengah mati. "Lo mempermainkan gue, kan?"

"Ya, emang merasa aja. Salah?" katanya. "Mempermainkan gimana, sih?"

"Lo tahu dia banyak masalah! Udah dapet bukti, kan? Trus kenapa lo merasa sempet nggak harus jauhin dia?" omelnya kesal. "Sempet-sempetnya foto lagi."

Fifi membanting pulpennya di atas meja. Dongkol laki-laki ini semakin mengeraskan suaranya dan membuat orang-orang jadi memperhatikan mereka. Dewa melihat itu agak bergidik. Apa lagi saat gadis ini mulai menyinggung seringai. "Denger, ya. Gue nggak tahu jelas apa yang jadi masalah dari keributan yang terjadi. Tapi setelah gue pikir-pikir lagi kenyataannya Wahyu nggak salah apa-apa." Dia tertawa getir. "Gue nggak ada masalah sama dia. Pelakunya, kan, anak 08. Ya, saat itu gue merasa salah aja jauhin si Wahyu. Lagian sampai kapan gue bisa jauhin dia, lo tahu itu nggak bisa, kan? Makanya gue minta tolong sama lo, kan?"

Cowok dihadapannya termenung linglung. Bingung menanggapi gadis yang telah dia buat kesal. "Tapi, kan--"

Fifi lagi-lagi menarik seringai. Wajahnya heran. "Lagian gue heran sama lo. Itu cuman foto biasa. Kenapa dari sekian banyaknya orang cuman lo doang yang sensi banget? Masalah lo apa?"

How To Get YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang