01. Eerste Ontmoeting

170 26 2
                                    

AYAM jantan baru bersiap untuk berkokok ketika Naina selesai mempersiapkan diri, lengkap dengan atasan batik dipadukan rok hitam dengan kaus kaki dan sepatu berwarna senada. Gadis yang baru menduduki bangku perkuliahan itu terlihat mengenakan sweater rajut berwarna cokelat susu dilanjutkan menggendong tas sekolah berwarna lilac. Ia kini tampak menghampiri orang tuanya di teras rumah.

“Nggak ada yang ketinggalan? Udah hafal jalan ke kampus?”

Naina mengangguk kecil. “Udah lengkap semua. Nanti aku bisa lihat maps.” Ia mencium punggung tangan Mina dilanjutkan dengan Barga. “Aku berangkat, Bu, Yah.”

“Hati-hati, Nai. Jangan ngebut, masih pagi,” ujar Mina mengingatkan.

“Kabari kalau sudah sampai di kampus,” sambung Barga.

Naina mengangguk. Ia terlihat mengenakan helm bogo berwarna abu-abu lanta melajukan motornya meninggalkan pekarangan rumah. Untuk kali pertama, gadis itu memilih berkendara ke tempat asing tanpa ditemani oleh siapa-siapa. Untuk kali pertama pula, Naina mengambil keputusan yang nekat dan melawan ketakutan dalam dirinya.

Sembari terus mengendarai motor dengan kecepatan sedang, Naina menguatkan diri begitu melewati jalan raya di depan SMA Anumerta. Netra gadis itu sedikit berkaca-kaca setelah melayangkan pandangan sekilas kepada bangunan sekolah bercat hijau. Sebuah bangunan saksi bisu kisah cinta nan fana, sekaligus mimpi besar yang sirna.

Dengan berat, Naina menghela napas. Gadis itu terus berkendara membelah jalan raya yang masih diterangi oleh lampu di tepi jalan. Meski begitu, jalanan yang didominasi truk-truk besar membuat Naina harus menjaga konsentrasinya. Dalam waktu lima belas menit, gadis itu telah memasuki perbatasan antara Mojokerto dengan Kota Santri, terlihat jelas dari papan penanda berwarna hijau di kanan jalan.

“Tuhanku ... aku mengembara di negeri asing,” gumam Naina mengutip salah satu buah karya Chairil Anwar.

•••

“Kau yakin akan berangkat sekarang?”

Pemuda dengan rambut bergaya Korea itu mengangguk. Ia sesekali menatap pantulan diri di spion motor Ducati berwarna hitam. “Aku nggak sabar ketemu dia,” ujarnya disertai senyuman.

Sepupunya itu tersenyum. “Itu pun kalau dia udah mulai kuliah. Aku heran deh, perasaan kamu lama di luar negeri tapi tau kalau Universitas Guru Bangsa hari ini ada jadwal ospek offline.”

“Satu bulan itu singkat. Aku sudah belajar banyak hal dari teman-temanku selama itu. Nggak cuma mengenai angkat senjata, tetapi bagaimana cara menggunakan media sosial dengan baik,” ujar laki-laki yang mengenakan kaos hitam lengkap dengan celana dan sneaker berwarna senada.

“Aku masih nggak nyangka, ternyata kamu cepat belajar. Bukan dari segi penampilan aja, tapi gaya bahasamu? Hmm, sangat sulit dipercaya kalau kamu adalah sepupuku yang paling bucin sejarah dan paling formal sedunia,” tutur laki-laki dengan kacamata yang bertengger di hidungnya.

Pemuda berumur dua puluh enam tahun itu tersenyum. “Bedankt voor je. Ini semua untuk dia.”

“Kalau begitu segeralah berangkat. Tetapi ingat pesan Tante Marischa semalam, jangan kebut-kebutan dahulu. Gimanapun, kamu masih belum pulih sepenuhnya. Yah, walaupun jarak rumahku sekarang dengan Universitas Guru Bangsa nggak begitu jauh. Tetapi, tetap saja.”

Maak je geen zorgen. Aku berangkat dulu.”

Laki-laki dengan tinggi 165 cm yang berdiri di depan teras rumah dengan pekarangan cukup luas itu mengangguk. “Veel succes. Titip salam buat calon kakak iparku itu, ya.”

TENDEANSTRAATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang