NAINA keluar dari toilet dengan kondisi mata sembab. Penampilan gadis itu berbeda seratus delapan puluh derajat. Netranya masih terlihat berkaca-kaca meskipun ia mencoba menyembunyikan dengan kacamata lensa bening yang biasa dipakainya untuk perjalanan pulang.
"Lama amat di kamar mandi. Abis ngapain?" Varen bertanya dengan maksud mencoba mencairkan suasana.
Alih-alih menjawab, Naina justru terlihat memasukkan gawai ke tas. Ia kemudian mengenakan tas kuliahnya kembali. Varen yang sedari tadi memperhatikan gelagat aneh Naina pun keheranan. Apalagi saat gadis itu hendak melangkahkan kaki entah ke mana. "Mau ke mana?"
"Pulang."
Alis Varen saling bertautan. "Kenapa? Tiba-tiba banget?" Ia melayangkan tatapan bertanya kepada Naina.
Lagi-lagi, pertanyaan Varen sama sekali tidak digubris oleh Naina. Gadis itu kembali melangkahkan kaki meninggalkan perpustakaan.
Varen yang penasaran sekaligus khawatir pun menyusul Naina. Dari kejauhan laki-laki itu melihat Naina mengenakan helm lengkap dengan sarung tangan di tangannya.
Meski sedikit kesulitan, Naina terlihat mengeluarkan motor dari tempat parkir lantas melakukannya melewati gerbang. Sempat berhenti beberapa saat karena akan menyeberang, motor matic berwarna hitam itu melaju menyusuri jalanan Kota Santri.
Tanpa aba-aba, Varen terlihat berlari memasuki perpustakaan dengan tergesa. Laki-laki itu mengambil tas ransel yang dititipkan pada loker di dekat meja pustakawan. Dengan penampilan serba hitam laki-laki itu mengambil helm full face yang menggantung pada kaca spion lantas mengenakannya. Ia kemudian menyalakan mesin motor Ducati hitam dan melajukannya meninggalkan tempat parkir perpustakaan kota.
"Ik hoop dat je niet roekeloos handelt, Nai."
•••
Kelabu menghiasi langit Kota Santri begitu Naina menyusuri jalanannya. Warna kelabu itu semakin lama semakin bertambah hingga berubah kehitaman disertai angin yang menusuk tulang. Perlahan-lahan, awan hitam itu berubah menjadi butiran air hujan yang semakin lama semakin derasnya. Lalu lalang kendaraan masih menghiasi jalanan kota sore itu dan di antaranya, adalah Naina yang membiarkan air matanya luruh bersama gemuruh deru kendaraan dipersatukan hujan.
"Kenapa semua harus terjadi, Pierre? Kenapa kebahagiaan itu berlangsung sesaat? Untuk kali pertama aku merasakan dicintai oleh seseorang dengan begitu hebatnya, tapi kenapa semuanya hilang dalam sekejap? Kenapa kita harus dipertemukan kalau ujungnya dipisahkan, Pierre?"
Naina menatap lurus jalanan di hadapannya sembari tetap melajukan motor dengan kecepatan sedang. "Aku nggak tau di mana kamu sekarang. Aku nggak tau gimana keadaan kamu sampai sekarang. Tapi, entah kenapa aku merasa kalau kamu ada di dekatku? Kenapa aku merasa kamu nggak pernah ninggalin aku? Kenapa aku merasa kalau kamu masih mencintaiku sampai saat ini, Pierre?" Air mata Naina tak kalah deras dengan hujan sore itu. Gadis itu terlihat begitu sendu.
"Dulu, aku nggak pernah mengira kalau aku bakal dipertemukan sama pria sejati kayak kamu, tepat di museum dan kediaman Pak Nas. Aku sama sekali nggak pernah mengira, pertemuan disertai argumen itu bakalan bikin kita lebih dekat. Bahkan, semesta seolah ngizinin itu dengan begitu banyak ketidaksengajaan yang terjadi. Aku sama sekali nggak pernah mengira, Pierre. Aku nggak pernah ngebayangin kalau di akhir masa SMA, aku bakal dicintai begitu hebatnya sama pria baik seperti kamu. Seseorang yang punya caranya sendiri dalam mengungkapkan cintanya, yang nyebelin tapi perhatian. Seseorang yang tulus ingin membela negara dan membantuku keluar dari semua rasa takut. Aku sama sekali nggak nyangka, hal yang begitu akan aku rasakan, Pierre."
Tangis Naina semakin menjadi begitu ia berbelok ke sebuah jalan dengan papan nama, "Jalan Kapten Tendean" di sebelah selatan. "Kamu yang bikin aku bisa baca buku biografi Kapten Tendean sampai akhir, Pierre. Kamulah yang ngajarin aku buat menerima kenyataan pahit dalam sejarah perjuangan Kapten Tendean. Kamulah yang bikin aku sekuat itu, Pierre. Kamu yang bikin aku lebih kuat dari sebelumnya, Bahkan, jika aku berani sampai di jalan ini, kamulah yang bantu aku, Pierre."
KAMU SEDANG MEMBACA
TENDEANSTRAAT
Fiksi RemajaKehidupan Naina berbanding 180° setelah lulus dari SMA Anumerta. Keinginan hatinya untuk melintasi jalan Kapten Tendean saat pertama kali jatuh cinta kepada sejarah mengantarkannya ke sebuah tempat asing yang tidak pernah ia kunjungi sama sekali. T...