[5.] Yang Katanya 'Rumah'.

1K 165 4
                                    

Selama perjalanan menuju rumah, Caine tak henti hentinya mengatur napasnya yang entah mengapa menjadi sesak.

Caley yang melihat itu hanya acuh, malas.

"Gimana sekolah itu?" tanya Caley mencoba memecah keheningan.

"Bagus, aku lumayan suka." jawab Caine dengan pelan.

"Jangan lupa, Caine. Kejar prestasimu disana. Jangan melukis saja yang kamu tahu. Contoh kakak dan adikmu, kakakmu setiap sekolah, dari SD sampai SMA pasti selalu juara paralel. Adikmu meski ngga sepandai kakakmu, dia bisa bawa berbagai medali kejuaraan olahraga. Kamu? Kamu bisa apa?" cerca Caley yang membuat deru napas Caine semakin memburu. Sesak yang tak kunjung selesai.

Apa asmaku kambuh, ya? Pikir Caine.

"Jangan diam aja! Paham ngga?"

"Iya, pa. Aku paham."

"Awas aja, ya, kamu. Kalo masih berkecimpung di bidang seni, papa buang semua karya karya ngga guna milik kamu. Apa hebatnya seni, sih?" Caley terus saja mengomel panjang lebar sambil melihat kearah jalanan tanpa melihat kearah Caine yang masih berusaha mengatur napasnya.

•••

Mobil putih itu terparkir apik di halaman rumah megah nan mewah yang berada di kompleks perumahan elit. Rumah indah dengan arsitektur khas nya yang membuat rumah itu 'berbeda' dengan rumah-rumah disebelah kanan kirinya.

Rumah indah yang sayangnya tak akan bisa menjadi 'rumah' bagi Caine.

Rumah yang selalu menjadi saksi bisu atas segala penderitaan yang Caine alami didalamnya.

Caley sudah keluar dari mobil tanpa sepatah kata apapun, meninggalkan Caine yang masih saja mencoba mengatur napasnya.

Sekitar tiga menit Caine melakukan hal itu, akhirnya napasnya berangsur angsur membaik, meski dahi Caine berkeringat, itu tak berarti apa apa baginya.

Caine pun keluar dari mobil dan berjalan pelan masuk ke rumahnya, sebelum benar benar masuk, Caine sempat berdoa dalam hati.

Tuhan, ku mohon, biarkan aku bernapas dengan tenang hari ini.

Namun, belum sempat ia menapakkan kakinya diruang tamu. Telinga tajam Caine mendengar percakapan yang membuat hatinya sakit.

"Mana anak sialan itu?"

"Masih di mobil."

"Udah kamu peringatkan?"

"Selalu, Rose."

"Hahh... Andai waktu itu ibu kamu setuju buat naruh anak sialan itu di panti asuhan. Aku benci anak itu."

"Aku lebih membencinya, asal kamu tahu, Rose. Dialah penyebab mendiang istri pertamaku meninggal. Kamu tahu itu, kan?"

"Iya, aku tau, Caley. Dan terlebih lagi, kamu lihat wajahnya, dia mirip sekali dengan mendiang kak Yuka, sangat sangat mirip. Dia selalu menjadi perbincangan hangat di perkumpulan arisan ku. Teman temanku selalu membicarakan wajah cantiknya itu. Cih- apa apaan itu? Lelaki tapi berwajah cantik, homo?"

"Hei, jangan seperti itu. Bagaimanapun juga ia anakmu."

"Jangan menyangkalnya, Caley. Aku tahu kau membenci paras cantiknya, kan? Karena setiap kamu memandangnya, kamu akan teringat wajah mendiang kak Yuka. Aku tahu. Sejujurnya aku sangat benci ketika mengingat fakta bahwa aku adalah ibu tirinya. Aishh--"

Always An Angel, Never A God. [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang