DIKARA ALTAIR ARKATAMA, cowok berparas tampan dengan wajah yang tegas, berperawakan jangkung. Cowok genius dengan segala prestasi di dalam bidang musik. Namun sayangnya, kegeniusan Dikara tidak pernah dia akui oleh sang ayah, ARKATAMA.
Sekuat apapun usahanya agar sang ayah melihat kegeniusan nya, semuanya tidak akan berarti di mata Arkatama.Berbagai prestasi yang dia raih pun tak pernah mendapat apresiasi dari sang ayah. Suatu ketika, untuk pertama kalinya Dikara mendapatkan sebuah piala di bangku sekolah Dasar. Tentu saja dia sangat senang saat mendapatkan nya, bahkan dia tak sabar untuk menunjukkan piala itu pada Arkatama. Namun, apa yang dia dapat?.
Dibalik wajah tampan dan kegeniusan nya Dikara begitu banyak menyimpan luka. Dan itulah yang membuat dia menjadi laki-laki yang datar dan jarang dekat dengan teman sekelas nya.
Flashback.
Senyum di bibir Dikara kecil begitu merekah, dia tak sabar ingin menunjukkan sesuatu pada sang ayah. Dia duduk di sofa ruang tamu memangku piala tersebut sambil menunggu sang ayah, sesekali matanya melihat ke arah jam dinding.
" Sudah jam 6, harusnya papa sudah pulang." Ujarnya sambil melihat ke arah pintu.
Suara langkah kaki terdengar, seketika Dikara langsung melihat ke pintu utama. Kedua sudut bibir nya tertarik membentuk lekungan saat melihat siapa yang datang, dengan perasaan bahagia dia langsung berlari menghampiri Arkatama.
" Papa!.." Seru Dikara kecil menghampiri sang ayah.
" Papa.. Lihat! Dikara dapat Piala." Ucap Dikara dengan antusias senyum diwajahnya tak pernah luntur.
Dikara sedikit bingung saat sang ayah tak mengatakan apapun.
Arkatama menunduk menatap sang putra yang tersenyum ke arah nya sambil memeluk piala. Bukannya memberi selamat pada Dikata, Arkatama justru menatap datar piala tersebut. Tanpa mengatakan apapun dia langsung meninggal Dikara begitu saja.
Dengan perasaan kecewa Dikara kecil melihat Arkatama pergi menaiki anak tangga menuju kamarnya yang ada di lantai atas. Sorot mata yang tadinya memancarkan kecerian kini berubah menjadi sendu, bahkan kini matanya memerah.
Dari kejauhan Aria menatap sedih sang putra, dia melihat semua yang terjadi antara Dikara dan Arkatama sang suami. Hati ibu mana yang tak sakit saat melihat anak nya di abaikan oleh ayah kandung nya sendiri. Dengan perlahan Aria melangkah kan kakinya menghampiri sang putra.
" Sayang..." Aria berjongkok mensejajarkan badannya di depan sang putra.
" Nak, maafin papa yah. Papa lagi capek makannya ninggalin dika gitu aja." Ujarnya sambil mengusap surai Dikara.
Sebagai seorang ibu tentu saja dia tidak tega melihat sang anak di abaikan oleh ayah kandung nya sendiri. Meskipun Aria sudah berusaha untuk membujuk Arkatama agar melihat dan memperhatikan Dikara, sang suami tidak pernah mendengar kan diri nya.
" Kenapa papa gak suka sama Dikara, ma?" Tanya Dikara kecil menatap sang ibu dengan mata yang berkaca-kaca.
" Tidak nak, papa sayang kok sama Dika." Aria langsung memeluk sang putra.
Aria harap suatu saat nanti Arkatama mau melihat Dikara dan menerima semuanya. Bukan salah sang putra, jika dia mengikuti kecerdasan ayahnya dalam bidang musik.
Dia juga tidak bisa meminta sang anak untuk berhenti bermain musik, apalagi musik adalah hal yang paling di sukai Dikara. Aria hanya ingin terus mendukung apa yang sang anak sukai.
Di dalam kamar, Arkatama yang baru saja masik langsung menuju tempat tidur. Dia mendudukkan pantat nya di bibir ranjang, ke-dua tangannya langsung meremas selimut untuk menyalurkan rasa marah nya.
Sejujurnya dia bukan marah pada Dikara, Arkatama hanya kesal pada dirinya sendiri hingga melampiaskan semuanya pada sang anak.
Flashback off.
Layaknya sebuah film yang terus berputar di kepala Dikara, semua kenangan masa kecil nya yang begitu pahit dan sakit. Kenang yang akan terus membekas di hati dan ingatan nya.
Meskipun ingatan masa kecil nya tidak akan hilang. Tapi Dikara tetap menyayangi sang ayah.
Jari jemari Dikara begitu lihai menari di atas tuts menghasilkan nada yang begitu indah hingga menggetarkan hati bagi siapa saja yang mendengar nya. Bersama dengan itu, kenangan masa kecil Dikara terus berputar di otaknya.
Dia memang tidak pandai mengekspresikan perasaan langsung menggunakan kata-kata. Dikara hanya mampu menumpahkan semua perasaannya lewat musik. Bagi Dikara hanya musik yanga mengerti dirinya, hanya musik tempat dia mengaduh semua nya.
Aula inilah yang sering menjadi saksi bagaimana perasaannya yang dialami Dikara selama ini. Semua perasaannya dia tuangkan lewat nada yang indah.
Dan ternyata, permainan piano Dikara sukses membuat seseorang terhipnotis atas ke indahan nada yg Dikara mainkan. Dia juga bisa merasakan semua perasaan yang Dikara tuangkan dalam nada tersebut. Untuk pertama kalinya dia mendengar permainan piano yang begitu indah.
*****
Assalamu'alaikum, readers😊
Gimana keadaan kalian? Semoga kalian selalu sehat dan bahagia ya🥰
Readers saya kembali dengan novel terbaru 👏🥳🤗
Bagi yang sudah membaca novel pertama. Saya ucapkan terimakasih banyak 🤗
Bagi yang belum membacanya, jangan lupa baca dulu ya! 🤭Jangan lupa tinggal kan kritik dan komentar ya👍
Jangan lupa follow juga akun author nya😁Selamat membaca, semoga kalian suka dengan novel ini☺🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
DIKARA MELODY
Random" sakit pa!, " Dikara kecil meraung memohon agar ARKATAMA menghentikan semuanya. Namun sayangnya, Arkatama mengabaikan raungan sang anak. Dia melirik sekilas ke arah Dikara kemudian matanya mengarah ke alat yg sangat dia benci. Jika Arkatama membe...