TAK AKAN SUKSES KARENA NYA

2 0 0
                                    


   Sang surya kini berganti tugas dengan sang rembulan, langit jingga pun kini berganti gelap menandakan malam tiba.

Di sebuah rumah megah nan indah, seorang anak laki-laki yang tampan nan jenius hadir di tengah-tengah rumah itu. Namun sayangnya kejeniusan itu tak pernah di anggap oleh sang ayah. Bahkan, seberapa keras pun dia menunjukkan prestasinya semuanya tak ada harganya di depan sang ayah.

Rumah ini memang terlihat begitu indah dari luar, namun kisah di dalam nya tak seindah itu.

Tepat jam 7 malam, Dikara langsung bersiap untuk pergi ke suatu tempat. Tempat yang setiap malam selalu ia datangi, tempat yang akan membuat dia tenang.

Setelah penampilan nya rapih, Dikara langsung keluar dari kamar tak lupa membawa kunci motor kesayangannya. Dikara menuruni anak tangga menuju lantai satu, dia sempat melihat sekeliling rumah yang begitu terasa sepi, dia juga tak menemukan keberadaan sang ibu di lantai dua.

Saat dia menuruni anak tangga, Dikara melihat sang ibu yang berada di bawah sambil menatap ke arah nya.

" Mau kemana, nak?" Tanya Aria saat Dikara sudah di bawah.

" Biasa ma, Dikara mau ke cafe." Jawab nya sambil tersenyum, senyuman yang jarang sekali di lihat oleh orang.

" Tumben jam segini baru ke cafe?"

Hari ini Dikara memang terlambat datang ke cafe, karena tadi sepulang kuliah Dikara mengerjakan tugas sampai ketiduran.

Aria memang tahu apa yang sang putra lakukan ketika malam hari, awalnya Dikara tidak mau memberi tahu. Namun setelah di paksa akhirnya Dikara menceritakan jika di bekerja di salah satu cafe sebagai pemain musik.

Awalnya Aria tidak setuju, tapi setelah mendengar penjelasan Dikara dia pun menyetujui nya. Karena hanya di tempat itu lah sang putra bisa bermain piano tanpa ada yang melarang.

Saat mendengar alasan sang putra, Aria menjadi sedih. Ternyata senyum yang selama ini dia dapat dari Dikara adalah untuk menutupi luka hatinya.

Luka hati yang sepertinya sulit untuk di sembuhkan. Dia hanya berharap semoga suatu saat luka itu bisa sembuh dengan sempurna.

Aria jadi kembali mengingat masa kecil Dikara, masa kecil yang seharusnya mendapatkan kasih sayang yang banyak justru kebalikan nya yang Dikara dapat. Jika bukan karena dirinya Dikara mungkin sudah meninggal rumah yang sudah menorehkan banyak luka padanya.

" Ma.." Dikara melambaikan tangannya di depan wahh sang ibu.

" iya nak, ada apa?" Aria tersadar saat Dikara memanggil nama nya.

" Tuh kan, mama melamun ya?" Tanya Dikara.
Padahal tadi Dikara mengatakan alasannya pergi terlambat ke cafe.

  Dikara langsung mengenggam tangan sang ibu sambil mengelus lembut punggung tangan.

" Mama lagi banyak pikiran, ya?  Samapai melamun kayak gitu. Padahal Dika lagi ngomong tadi," Ucapnya.

Aria tersenyum menatap sang putra, tangan kanannya terulur untuk mengusap surai hitam Dikara.

" Tidak nak, jangan khawatir. Mama tidak memikirkan apapun, kok." Jawab Aria sambil tersenyum. Aria bisa melihat raut khawatir di wajah Dikara.

" Mama yakin? Mama gak lagi nyembunyiin apapun kan?" Aria langsung menggeleng.

" Kenapa waktu berjalan begitu cepat, putra kecil ku sekarang sudah tumbuh besar menjadi laki-laki tampan dan gagah," Ucap Aria. Dikara memejamkan matanya saat tangan Aria mengusap rambut nya.

" Mama jadi penasaran siapa perempuan beruntung yang mendapatkan anak mama yang tampan ini,"

" Siapa pun dia semoga bisa membuat putra mama selalu bahagia."

" Kenapa jadi membahas itu, untuk saat ini hanya mama perempuan berharga yang ada di hidup Dika, " Ujar Dikara.

" Suatu saat nanti kamu pasti menemukan perempuan yang jauh lebih berharga di banding kan mama nak. karena dialah yang akan menemani kamu samapai tua,"ucap Aria.

" Karena mama tidak bisa menemani kamu sampai selama itu." Lanjut Aria sendu, Dikara tidak suka mendengar kata-kata terakhir yang sang ibu ucap kan. Karena itu, dia lebih memilih pamit pergi.

" Dika pamit ya ma," Ujarnya sambil mencium punggung tangan Aria.

  Baru beberapa langkah Dikara langsung di sambut Arkatama yang baru saja pulang kerja, Dikara menatap Arkatama sebentar setelah itu kembali melangkah kan kakinya keluar dari rumah.

Namun, saat di tengah-tengah pintu suara Arkatama langsung menghentikan langkah kaki Dikara.

" Mau jadi apa kamu? Keluyuran malam tidak jelas seperti itu!" Ucap Arkatama dengan nada tegas.

Aria langsung mendekati Sang suami, dia tak mau ada perdebatan antara ayah dan anak ini. Oleh karena itu dia berusaha mengalihkan perhatiannya dari Dikara.

" Mas tama mau makan dulu atau mau mandi?" Tanya Aria dengan nada lembut.

" Nanti saja," Jawab Arkatama.

" Kamu belum menjawab pertanyaan papa, Dikara?"

" Mas biarin Dika pergi ya, hari ini mas ada lembur ya?"

" Iya, kebetulan hari ini mas lembur abis bahas untuk ulang tahun perusahaan." Jawab Arkatama sambil tersenyum.

  Jika Aria pikiran Arkatama akan membiarkan Dikara pergi begitu saja, tentu salah.

" Harusnya kamu contoh Rigel, kakakmu. Dia anak yang penurut tidak membangkang seperti mu, Dikara!!!" Ucap Arkatama sedikit menaikan suara nya. Saat ini dia tengah lelah karena baru pulang lembur, dan ketika melihat Dikara ingin pergi rasa lelahnya menjadi sebuah amarah.

Arkatama tahu jika setiap malam sang anak suka pergi keluar, tapi ini kali pertama nya dia melihat langsung Dikara pergi malam-malam.

Dikara langsung mengepalkan kedua tangan nya, menyalurkan semua emosi. Dia paling benci di banding-banding kan, Dikara langsung membalikan badan menatap sang ayah dengan ekspresi datar.

" Ingat ini, pa! Samapai kapanpun Dikara tidak akan mencontoh kak Rigel, karena Dika akan terus mengejar mimpi Dikara," Ujar Dikara dengan nada tegas penuh penekanan.

Arkatama tersenyum temen mendengar kata-kata terakhir Dikara. Samapai kapanpun dia tidak akan menyukai mimpi sang putra, karena impian dan cita-cita Dikara menginginkan nya akan masa lalu yang tak pernah ia capai dan membuat nya marah.

" Impian apa yang kamu maksud? Mimpi yang tak akan membuat mu sukses!" Ujar Arkatama tersenyum remeh.

Dikara berusaha menenangkan hatinya, dia menarik nafas dan menghembuskan nya secara perlahan. Mungkin jika tidak ada sang ibu, Dikara tidak tahu bisa menahan amarah nya atau tidak. Jujur dia sangat marah mendengar kata-kata terakhir Arkatama.

Apakah title sukses hanya untuk mereka yang berpangkat?

" Samapai kapanpun Dikara gak akan peduli dengan apa yang papa katakan. Dikara akan terus mengejar cita-cita itu,"

" Dan satu lagi, jika mengejar impian Dika papa anggap pembangkang. Maka Dika akan terus melakukannya." Ujar Dikara.

Setelah mengatakan itu, Dikara langsung meninggalkan Arkatama dan Aria yang tengah menangis. Dia sedih melihat berdebat ini, bahkan samapai Dikara dewasa pun dia tidak bisa menghentikan perdebatan ini.


Halo readers👋🥰
Selamat membaca 🤗
Jangan lupa tinggal kan jejak🤭










DIKARA MELODYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang