Epilog - Never Ending

76K 2.6K 27
                                    

Warning: Typo(s) bertebaran!

"Bundaaaa...." panggil anakku, Disya, yang sekarang umurnya tiga tahun. Dia anak perempuanku yang cantik, tapi sifatnya centil seperti, ehem... bundanya.

Aku yang sedang mengaduk kopi untuk Ardigo, langsung menghentikan kegiatanku dan beralih menatap anakku yang sedang memeluk kakiku dengan erat. Dia terisak pelan sambil membawa boneka Frozen, Elsa.

"Kenapa sayang?" Tanyaku seraya mengangkat tubuh anakku.

Disya memeluk leherku, kebiasaan dia kalau sedang bersedih, dia selalu butuh pelukan hangat untuk meredakan tangisnya.

"Abang Olan, jaat, Bun. Maca Bang Olan bilang Dica bocah ingusan, Bun. Kan, Disya gak ingusan lagi kalena Disya gak pilek." Ucapnya membuatku terkekeh.

Olan, kerap disapa Orlando, anak Ferlyn tetanggaku. Entah kenapa, anakku yang masih kecil saja bisa jatuh cinta sama Orlando. Ya, Orlando tampan di umurnya menginjak tujuh tahun, tapi dia tipikal orang yang cuek, dan dingin. Ferlyn bilang, sifat Orlando menurun ke ayahnya. Bahkan, anakku ini korban kecuekkan dia. Tapi, itu hal yang wajar menurutku.

Ferlyn dulu tinggal di Batam, keluarga kecilnya pindah ke Jakarta karena suaminya memiliki proyek di sini.

"Bun," panggil Disya dengan lirih.

"Apa, nak?" Tanyaku seraya mengelus rambutnya yang bergelombang.

"Coba, bunda liat idung Dica, gak ada ingus, kan, Bun?" Tanyanya sambil menunjukkan lubang hidungnya ke mataku.

Aku tersenyum geli, oh, anakku begitu polos untuk mengartikan maksud dari perkataannya Orlando.

"Nggak, sayang. Kamu gak ada hingus, cuma ada upil doang." Candaku membuat tangis Disya semakin keras. Waduh, kalau misalkan Ardigo dengar anaknya nangis kejer, pasti aku yang di salahin.

"Hueee... Bunda jaat! Bunda tuh yang ada upil, bukan Dica!" Rengeknya.

"Ada apa, sih? Kok anakku nangisnya kencang banget."

Ardigo muncul dari samping, wangi sabun sehabis mandi membuatku jadi tidak fokus.

"Ayah..., Bunda jaat, Yah. Maca Dica ada upil." Adunya pada Ardigo. Aku hanya bisa menghela nafas, lihat saja, sebentar lagi mereka berdua bakalan mesra-mesraan dan melupakan diriku.

"Yaudah, sini sama Ayah, saja. Kita cari boneka Elsa ya, tapi kamu harus diam. Oke?"

Mendengar boneka Elsa, tangis Disya langsung hilang. Ajaib sekali pengaruh boneka Elsa untuk anakku itu.

Disya merentangkan tangannya, kode minta digendong oleh ayahnya. Ish, Disya bikin iri bundanya saja. Aku, kan, juga mau digendong sama Ardigo.

Dalam sekejap, Disya sudah berada di dalam gendongan Ayahnya. Ardigo mencium pipi tembam Disya dengan gemas. Disya hanya tertawa kecil karena ciuaman bertubi dari ayahnya.

Aku merengut sebal, aku juga pengen di cium juga, kali, Ar! Masa Disya aja yang dicium, akunya nggak.

"Mulutnya kenapa di monyongin, Nam? Pengen di cium?" Godanya sambil mengedip centil.

Aku menatapnya dengan sengit, "malesin banget, nih, minum dulu kopinya." Ucapku sambil memberikan cangkir kopi yang telah kubuat untuk Ardigo.

Ardigo nyengir-nyengir gak jelas, lalu dia duduk di kursi pantry sambil meminum kopinya. Sedangkan Disya masih setia dalam gendongan ayahnya.

"Nam, aku bawa Disya jalan dulu ya, mau ikut?"

Aku menggeleng, "nggak usah deh, Ar. Kamu aja sama Disya, tapi awas aja kalau jalan-jalannya sambil godain cewek lain. Pulang-pulang nyawamu hilang di tanganku." Ancamku.

Mr. ColdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang