"Gimana menurutmu?"
"Eh, apanya yang gimana?"
Kau hentikan langkahmu, berbalik menghadapku kau tersenyum.
"Ini yang gimana," seraya merentangkan kedua tanganmu.
Padang rumput kecil dengan hutan di sekelilingnya. Pohon-pohon tropis tipikal gunung. Ranting kering yang berserakan.
Terdengar samar-samar suara pendaki lain, terpisah dengan semak edelweiss tak begitu jauh dari kemahku. Dari kemahmu.
Bukan, dari kemah kita.
"Gak gimana-gimana," jawabku menahan rasa senang yang tiba-tiba muncul.
Menyadari keberadaanmu di sini saja sudah cukup membuatku bahagia. Barangkali karena aku sudah terlalu lama mengagumimu dari jauh, diam-diam. Kesempatan berada di dekatmu seperti ini tak kan ku sia-siakan begitu saja.
"Jauh-jauh diajak ke gunung, gak ada gimana-gimananya," kau mendengus sambil pura-pura kecewa.
Ya, pura-pura.
Karena beberapa detik kemudian senyum jahilmu kembali dan kau mengejar langkahku dengan bersemangat.
"Nanti sebelum jam 5 sore, kau ikut aku. Kita izin naik ke puncak sedikit lagi. Beritahu yang lain kalau ini untuk tugas Karya Ilmiah. Oke?"
Belum sempat aku mencerna perkataanmu, kau langsung pergi begitu saja. Membiarkanku menelannya bulat-bulat.
Tanpa sanggahan, tanpa pertanyaan, tanpa jawaban tidak.
Keras kepalamu itu terkadang membuatku jengkel, namun di lain kesempatan berhasil membuatku tersenyum. Membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Membuat mataku tak bisa melepaskan pandangannya ke arah punggungmu.
Punggung tegap yang senantiasa menarik perhatianku.
"Katakan padaku, sudah berapa kali punggung itu menemanimu dalam tiap perjalanan, dalam terik maupun hujan, dalam kesendirianmu?" bisikku pelan.
"Berapa banyak orang yang menyadari daya tariknya? Sepuluh? Lebih dari sepuluh?"
Cerahnya sinar mentari tengah hari menyuntikan perasaan hangat ke tubuhku. Membuat senyum di bibirku mengembang.
Angin sepoi pegunungan hanya berhasil membuat detak jantungku kembali normal, tak berdaya membawa pergi perasaan ini.
Perasaan yang sudah terlanjur ada. Mungkin untuk sementara. Mungkin selamanya.
Tidak ada yang tahu.
Angin kembali menghembuskan napas sejuknya. Mengiringi langkahku, ke arahmu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradoks:
Poetry/ 1 / tentang Matahari & Bulan. "Aku tidak mau jadi matahari. Karena setiap sore, ia harus rela pergi. Padahal itulah waktu dimana ia dan bulan bertemu. Dan setiap pagi, ia kembali. Hanya untuk memastikan apabila bulan sudah benar-benar pergi." © 20...