Hari itu hujan turun. Hujan biasa. Di hari yang biasa.
Setidaknya itulah yang kuharapkan, karena hujan kali ini... beda.
Biasanya hujan akan menemaniku dalam kelabu, dalam kesedihan akan ingatan masa lalu.
Rintik-rintik lembutnya seakan membawaku, ikut hanyut dalam melodi sendu.
Tapi, itu dulu.
Sebelum hati ini mulai ragu. Sebelum pikiranku terganggu, terusik dengan sesuatu.
Sedang apakah dirimu?
Ada yang salah di sini.
Ada yang berbeda, benar-benar lain dari biasa. Rasanya hati ini tidak sabar untuk segera kembali. Untuk segera berjumpa denganmu.
Tak perlu saling sapa, cukup memperhatikan dari jauh, diam-diam.
Cukup begitu, karena nyatanya memang selalu begitu.
Aku mendambakan sesuatu. Bukan. Aku tidak membicarakan tentang benda. Kalau begitu, biar kuralat kalimatku.
Aku mendambakan seseorang.
Candamu. Tawamu. Dirimu. Ini bahkan belum lewat lima jam, tapi aku sudah rindu.
Untungnya hari sedang hujan. Rintik yang makin lama makin deras ini seakan mampu memadamkan rasa penasaran yang terasa sakit.
Menemaniku dalam perjalan pulang, pulang ke tempatmu. Andaikan aku bisa mempercepat waktu.
Atau melompatinya, barangkali.
Agar aku tak lagi tersiksa menghitung menit demi menit, detik demi detik, yang harus kulewati hanya untuk mendengar tawamu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradoks:
Poetry/ 1 / tentang Matahari & Bulan. "Aku tidak mau jadi matahari. Karena setiap sore, ia harus rela pergi. Padahal itulah waktu dimana ia dan bulan bertemu. Dan setiap pagi, ia kembali. Hanya untuk memastikan apabila bulan sudah benar-benar pergi." © 20...