Matahari;
Berdiri gagah dengan pancaran sinarnya. Setia menyinari bumi, tanpa pamrih. Kuat, tangguh, perkasa. Rela melakukan apa saja, demi kekasih hatinya.
Bulan;
Menari dengan anggun dengan cahaya keperakannya. Menerangi bumi kala gelap, dengan senyum lembutnya. Berharap suatu saat, cintanya akan datang, menjemputnya.
"Apa warna favoritmu?" tanyamu.
Aku terdiam sejenak.
"Jingga."
"Karena terbenamnya matahari?"
"Tepat sekali," aku tersenyum. "Kau?"
"Biru."
"Dan mengapa itu?"
"Karena," kembali dirimu menatap senja, yang sudah sepenuhnya melahap matahari. Menyisakan semburat jingga kemerah-merahan.
"Karena langit."
Hening.
Semesta masih cerah dengan warna jingga, dan sedikit biru. Aku memikirkan semua ini.
Tentang matahari, yang baru saja pergi.
Tentang bulan, yang datang tak lama lagi.
Tentang langit. Tentang jingga. Tentang biru.
Tentang kamu.
"Mungkin aku adalah matahari, dan kau bulan," katamu lagi seraya memperhatikanku.
"Aku selalu mengejarmu, walau aku tahu itu sulit. Karena kau begitu dingin, jauh, tak tergapai."
"Aku di sini, tepat di sampingmu."
Kau kembali tersenyum.
"Maka dari itu, aku tidak ingin jadi matahari. Karena setiap sore ia harus rela pergi, padahal itulah waktu dimana harusnya ia dan bulan bisa saling menatap. Dan tiap pagi, ia kembali. Hanya untuk memastikan apabila bulan sudah benar-benar pergi."
"Aku pun tidak ingin jadi bulan."
"Ada waktu di kala keduanya mencapai batas rindu, waktu-waktu dini hari. Ketika bulan, setelah menunggu semalaman," kau menggenggam tanganku, dalam upayamu menjaga keduanya tetap hangat.
"Melihat secercah cahaya di timur sana. Bulan senang, karena cintanya sebentar lagi terbit. Namun ia tak bisa melampaui batas, melanggar peraturan lebih lama lagi."
"Bulan pun pergi demi kekasihnya. Merelakan matahari untuk melakukan tugasnya, menyinari bumi. Sampai waktunya datang lagi. Sampai matahari berada di barat, siap pergi, tapi sebenarnya, tak mau pergi." Aku melanjutkan kata-katanya. Ikut terhanyut dalam cerita yang dimainkannya.
"Kalau kau memang bulanku, aku tak mengizinkanmu untuk pergi..." kau mengaitkan jemarimu, dengan jemariku.
"...lagi."
Pikiranku melayang ke hari itu. Hari dimana semuanya dimulai.
Hari Jumat. Hari hujan.
Hari yang benar-benar berarti bagiku.
"Lalu, kau? Apa yang akan kau lakukan, matahariku?"
"Menjadi milikmu. Setia di sampingmu."
***
Jakarta, 30 April 2015
// l.a.f
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradoks:
Poetry/ 1 / tentang Matahari & Bulan. "Aku tidak mau jadi matahari. Karena setiap sore, ia harus rela pergi. Padahal itulah waktu dimana ia dan bulan bertemu. Dan setiap pagi, ia kembali. Hanya untuk memastikan apabila bulan sudah benar-benar pergi." © 20...