Pukul setengah enam sore.
Atau setidaknya itu perkiraanku dengan menilai rendahnya letak matahari di barat sana.
Kabut-kabut tipis yang sedari tadi turun perlahan, menyelimuti pondok perkemahan dengan udara dingin.
Tanah lembab tersiram hujan siang tadi menguarkan wangi khas, wangi yang selalu kusuka.
"Aku suka wangi yang ditinggalkan hujan, entah mengapa,"
katamu sambil menghirup napas dalam-dalam.
Hidungmu mengeluarkan uap ketika kau mengeluarkan kembali napasmu itu.
Saking dinginnya keadaan sekitar, saat kau berbicara uap tipis tersebut akan muncul. Saking dinginnya pula kau memutuskan untuk menyudahi rencana kita,
yang bahkan belum sampai setengah perjalanan.
"Sebentar lagi gelap, apa tidak sebaiknya kita kembali ke kemah?"
Tanyaku sambil menggosok-gosokan tanganku, menjaga agar keduanya tetap hangat.
Matamu yang sedari tadi kau tujukan ke langit sore, kau alihkan ke arahku, menatap persis kedua mataku.
"Tidak sekarang,"
kau duduk di sebuah batu yang cukup besar, berisyarat padaku agar menempati kekosongan disampingmu.
"Belum kuizinkan. Sini duduk, aku ingin bercerita suatu hal padamu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradoks:
Poetry/ 1 / tentang Matahari & Bulan. "Aku tidak mau jadi matahari. Karena setiap sore, ia harus rela pergi. Padahal itulah waktu dimana ia dan bulan bertemu. Dan setiap pagi, ia kembali. Hanya untuk memastikan apabila bulan sudah benar-benar pergi." © 20...