vi

581 46 3
                                    

Hari itu sudah sore. Sore biasa. Di hari yang biasa.

Tidak, hari ini bukan hari yang biasanya.

Pukul setengah tiga.

Aku sudah di sini, di tempatmu. Rindu ini tak bisa ditahan, makin lama makin perih.

Tak ada yang menemaniku sekarang, aku sendirian. Hujan sudah lama tinggalkan aku. Hanya menyisakan aroma khas, wangi yang seakan menggantikan posisi hujan. Untuk memendam rasa ini, rindu ini.

Sabar, sebentar lagi.

Aku menemukanmu, di depan kelas. Sedang bersenda gurau dengan salah satu temanmu.

Aku bersikap biasa, walau di dalam mati rasa. Lelah bolak-balik rumah-sekolah-rumah-sekolah seakan sirna saat aku mendengar tawamu. Saat aku melihat senyummu.

Saat matamu, bertemu pandang dengan mataku.

Ketika aku sudah dekat, kau menarikku, menjauh dari temanmu. Yakin tak ada yang memperhatikan, kau berkata,

"Kenapa lama sekali? Darimana saja? Kehujanan tidak? Sebentar lagi pulang, kau ketinggalan ulangan Matematika, susahnya minta ampun," kerut di dahimu menunjukkan bahwa kau ingin jawaban, dan harus mendapat jawaban.

Sulit bagiku untuk mencerna pertanyaan secepat itu. Hanya ada satu yang terlintas di benakku,

"Ulangan Matematika? Bohong. Kita bahkan tidak ada pelajaran itu hari ini."

Kau tertawa. "Iya, memang bohong." Kau tersenyum lembut. Aku tahu kau sedang senang, terlihat dari pancaran sinar matamu. "Kau punya hutang padaku."

"Eh, hutang apa?"

Kau mencoba merapikan rambutmu yang berantakan, "Hutang. Karena hari ini," usahamu malah membuatnya makin tambah berantakan, "Hari ini... kau berhutang padaku," Kau berusaha menyibukkan diri.

Menyabuti dedaunan, merapikan seragammu, yang sebenarnya tak perlu. Memandangi dinding, memandangi sepatu, langit-langit, apa saja,

kecuali mataku.

"Karena aku kehilangan kamu."

Butuh beberapa detik bagiku, untuk mengerti.

Tidak, aku bahkan tidak mencoba untuk mengerti.

Pikiranku rasanya sudah tidak bersamaku. Terbang karena kata-katamu, melayang-layang, jauh di atas sana. Aku bahkan tidak sanggup untuk melirik, memastikan bahwa kau tidak main-main.

"Jangan pergi seperti itu lagi," kau tidak main-main, terdengar dari nada suaramu.

Dari tatapanmu, yang sekarang menatapku dengan berani, juga malu. Aku memilih untuk bungkam, diam, memintamu untuk melanjutkan perkataanmu.

Untuk menjelaskan maksud dari semua itu. "Kau harus membayar hutangmu."

Aku berusaha untuk bersuara, sedikit terbata, "Bayar... gimana?"

"Sabtu. Minggu depan. Ikut aku. Hiking. Senin pulang. Semua aman. Tinggal bawa baju dan perlengkapan pribadimu," sedikit tersipu, kau melanjutkan.

"Kau bayar dengan waktu. Aku beli waktumu."

***

Paradoks:Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang