v

642 56 0
                                    

"Ini yang pertama kalinya bagiku."

Kau kembali mengalihkan pandanganmu ke arah senja.

Semburat jingga pertanda matahari sudah menyelesaikan tugasnya hari ini. Memberikan kehangatan, membangun kehidupan, menyinari bumi dengan kemilau emas hangatnya.

Sudah selesai.

Aku, duduk di sampingmu, berusaha untuk mengatur detak jantungku agar kembali normal. Berusaha mendengarkan perkataanmu yang kali ini tidak mudah untuk dilakukan.

Alismu, garis rahangmu, air muka yang seakan terpahat tegas mungkin mencerminkan kepribadian keras kepalamu. Tiap nada yang keluar dari bibirmu selalu berhasil menjadi lagu favoritku.

Aku terpaku melihat matamu, dua bola mata hitam pekat itu...

"Kau mendengarkan tidak, sih?"

...menatap tepat ke dalam mataku.

"Aku dengerin, kok," sanggahku.

Buru-buru aku mengalihkan pandang, mengarahkannya ke barat sana. Mengusir khayalku, memendam malu.

Kau memperhatikanku sejenak. Kerut di dahimu, selalu ingin tahu.

"Di sini terlalu dingin, ya? Mukamu merah. Apa mau kembali ke kemah saja?"

Aku mendengar ada yang berbeda dari nada suaramu.

Tidak biasanya kau seperti ini, khawatir, peduli, lucu melihatmu seperti ini. "Tidak, tidak. Aku suka di sini. Aku suka ketinggian. Aku suka melihat matahari terbenam. Melihat sunset dari puncak sini," kembali aku menggosok-gosokan kedua tanganku. "Adalah salah satu impianku. Sesuatu yang kutunggu-tunggu."

Masih merasakan tatapanmu, aku berkata lagi. "Terima kasih ya, sudah mengajakku ke sini. Walaupun, yah, tidak benar-benar sampai atas. Dingin, sih."

"Kau senang?"

Aku balas menatapmu. "Sangat."

Mendengar hal itu terpampang senyum puas di wajahmu.

Jantungku rasanya bermasalah lagi, berdetak tak menentu. Senyummu menyebarkan perasaan hangat di sekujur tubuhku. Membuatku tak tahan untuk tak membalas senyuman itu.

"Kalau begitu sekarang giliranmu."

"Eh, apa?"

"Tidak ada yang gratis, itu aturan mainnya denganku. Buat aku senang."

"Eh," aku diam. Lama ku berpikir namun tak kutemukan juga maksudnya. Kuputuskan untuk bertanya, "aku harus apa?"

Kau malah tertawa. "Bercanda. Serius sekali, sih." Melihatku cemberut tawamu berhenti.

Padahal aku hanya pura-pura. Aku suka melihat wajahmu yang khawatir, lucu. "Jangan marah. Bercanda kok, serius."

Giliran aku yang tertawa. Senang rasanya melihatmu khawatir, lagi. Hanya karena masalah sepele seperti ini. "Kena kau."

"Bisa juga kamu," kau menghela napas, lega. Tanganmu meraih puncak kepalaku, menepuk-nepuknya lembut.

Gerakan kecil ini memberi dampak besar kepadaku. Jantungku yang sedari tadi tak keruan, makin menggila. Aku merasakan diriku tersipu, kaku, tak berdaya karenamu.

"Kali ini yang serius, ya. Aku mau cerita. Penting buatku," katamu seraya menatap langit. "Karena ini ada hubungannya denganmu."

***

Paradoks:Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang