Hari itu hari Jumat. Jumat biasa. Di hari yang biasa.
Semuanya berjalan biasa-biasa saja. Sampai waktu istirahat tiba.
Entah karena urusan apa aku diharuskan untuk pulang, kembali ke rumah.
Oh ya, aku ingat sekarang. Hari itu aku punya jadwal mengumpulkan berkas demi suatu keperluan penting. Namun karena aku lupa membawa fotocopy akte kelahiran, mau tak mau, harus mau.
Walaupun itu berarti aku harus izin untuk diberi dispensasi tidak mengikuti pelajaran, beberapa jam kedepan.
Mendengar hal itu kau mengalihkan perhatianmu dari selembar kertas yang sepertinya sedang kau lukis dengan sketsa konyolmu.
Matamu tertuju pada guru yang sedang berbicara padaku, terus turun ke kertas dispen dalam genggamanku. Kerut di dahimu menunjukkan ada sesuatu yang mengganggu benakmu, sesuatu yang kau coba pecahkan.
Sampai akhirnya mata kita bertemu.
Harus pulang? Tak bisa ditunda?
Matamu seakan berbicara padaku, menyerukan ketidak setujuannya.
Saat itu aku bingung mengapa kau terlihat begitu gelisah, tidak seperti dirimu yang biasa. Dirimu yang acuh tak acuh, tak peduli keadaan sekitar,
tak pedulikan aku.
Dengan anggukan pelan, aku mengemasi barang-barangku, lalu melenggang pergi keluar kelas. Perubahan dirimu itu kuputuskan sebagai angin lalu saja, sesuatu yang tak perlu dikuatirkan.
Tapi... aku masih merasakan pandangan matamu, terus mengikutiku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradoks:
Poetry/ 1 / tentang Matahari & Bulan. "Aku tidak mau jadi matahari. Karena setiap sore, ia harus rela pergi. Padahal itulah waktu dimana ia dan bulan bertemu. Dan setiap pagi, ia kembali. Hanya untuk memastikan apabila bulan sudah benar-benar pergi." © 20...