Setelah Perpisahan

95 16 17
                                    

Akan kujalani life after breakup di umur 26 selama hubungan 5 tahun sambil nyanyi “on bended knee.”

Tidak Elea sangka bahwa ia akan ikut meramaikan trend yang sedang viral di tiktok baru-baru ini. Tidak pernah terpikir bahwa hubungan yang awalnya manis harus berakhir dengan tangis. Tiap sudut kota adalah kita yang dulunya merupakan gambaran Elea dan Avandra, kini menjadi tiap sudut kota adalah luka. Avandra Mahesa, kekasih 5 tahun Elea yang kemarin memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka secara sepihak. Elea tidak mengetahui dengan pasti alasan di balik keputusan Avandra kemarin.

Mungkin di semua beban yang ia tanggung, aku adalah yang paling mudah ia lepaskan.

Elea selalu merasa mereka akan tetap baik-baik saja dengan segala kesibukan Elea, segala mimpi Elea. Tapi ternyata salah, Avandra memutuskan pergi dan menyisakan luka yang mendalam di hati Elea. Kota ini menjadi terasa menyiksa. Tiap malam yang ia lalui sendirian menjadi terasa menyesakkan karena melewati tempat-tempat yang dulu mereka singgahi berdua.

Bayang hangat terasa jelas Elea lihat, sampai kemudian menghilang pergi membawa sadar bahwa nyatanya Avandra tidak akan pernah lagi di sisinya.

“Udah, dong, nangisnya. Mata lo udah bengkak banget, Lea,” ujar Savantika Indira, teman satu kos Elea sejak kuliah S1 di kota ini. Keduanya memutuskan untuk terus berada di kota walaupun sudah lama menamatkan kuliah. Elea dan Sava berasal dari desa yang jauh dari kota tempat mereka sekarang berada.

“Sav, gue udah ada niat buat bawa dia ke rumah, kenalan sama Ibu di rumah. Hal yang udah lama banget dia pengen. Baru ini gue mikir beneran buat ngabulin. Gue pikir kita bakal sampe pelaminan, Sav. Jahat banget dia," tangis Elea semakin kencang membuat Sava bingung harus melakukan apa.

“Gue harus gimana, Sav? Gagal urusan percintaan di usia 26 tahun ini beneran gak mudah, Sav. Sakit banget rasanya.” Elea semakin tergugu, Sava jadi tidak tega mengatakan bahwa Elea baru saja diberhentikan dari pekerjaannya karena tidak masuk kantor selama seminggu. Email Elea yang tersambung ke handphone Sava menjadi alasan Sava yang mengetahui perihal pemberhentian Elea. Sava yakin Elea belum membaca email dari kantornya itu.

Elea bergerak mengambil handphone-nya yang terletak di atas tempat tidur. Dia membaca kembali chat dari Avandra.

 Dia membaca kembali chat dari Avandra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tangisnya kembali pecah. Sava lalu memeluknya erat, memberi kehangatan terbaik yang bisa ia berikan. Sebisa mungkin ia siap menjadi teman berbagi Elea di masa terpuruknya ini.

Sava tahu rasanya. Ia pernah mengalami hal seperti ini satu tahun yang lalu. Saat itu, Elea pun selalu ada di sampingnya. Mendukung dan menguatkannya di saat calon suaminya memutuskan untuk memilih wanita lain.

Elea melihat ada notifikasi dari emailnya, tangannya lantas bergerak membukanya. Bukan tangisan yang ia berikan, tapi tatapan kosong tanpa makna. Ekspresi luka yang mendalam.

“Sav, gue di-PHK.” Sava ikut terdiam kaku.

“Sabar, Lea. Gue di sini.”

“Gue diberentiin dari pekerjaan yang selama ini gue impiin, Sav. Gue harus gimana lagi? Avan udah ninggalin gue, sekarang kerjaan gue juga ilang.” Sesak Elea rasakan. Sangat sesak. Rasanya sangat menyakitkan.

“Bukannya gue udah izin cuti, ya?” tanyanya di sela tangis.

“Kayaknya mereka gak ngizinin lo buat cuti, Lea.”

“Jadi selama ini gue memang bolos kerja? Gue udah ajuin cuti Sava.”

“Lo cuti cuma tiga hari dan lo udah gak masuk kerja seminggu gara-gara nangisin tuh cowok.”

“G-gue harus gimana lagi, Sav?” Elea memeluk Sava erat. Sava sedikit sesak karena eratnya pelukan Elea, tetapi dia tahu, Elea butuh pelukan ini. Pelukan adalah jeda yang menenangkan, momen di mana Elea bisa merasakan kehadiran Sava di sampingnya.

“Gak papa, lo lanjutin lagi aja mimpi lo. Coba gambar lagi, nulis lagi. Lo si paling jago seni, Lea.” Sava mencoba menghibur Elea seperti yang Elea lakukan kepadanya dulu.

“Gak ada yang paham sama gambar gue. Terlalu abstrak. Mereka malah ngejek gambar gue, katanya gak punya makna. Jelek.” Elea mulai menghapus sisa air matanya yang sejak tadi mengalir tanpa henti. Ia mulai lelah menangis. Matanya sudah sedikit berat.

“Itu karena mereka gak paham maksud dari gambar lo. Maknanya akan sampai ke orang yang paham tentang gambar. Dan sebenarnya orang itu bukan gue.” Sava terkekeh, mencoba bercanda. Ava Elea Marie tertawa di sela tangisnya.

“Itu, sih, gue tahu,” jawab Elea membalas candaan Sava.

“Sav, kayaknya besok gue bakal ke kantor buat ambil semua barang gue yang ketinggalan. Sekalian pamitan. Gimana pun mereka pernah jadi partner kerja yang menyenangkan. Dan setelah gue pikir-pikir ini memang salah gue. Gue yang nyepelein kerjaan gue gini.”

“Wajar, Lea. Namanya juga orang putus cinta. Nalarnya gak jalan.”

“Udah cintanya gagal, karirnya juga gagal. Kurang nyesek apalagi coba.”

“Ambil hikmahnya. Kegagalan itu, kan, awal keberhasilan. Harus dinikmati dan diambil hikmahnya.”

Tapi kalau kegagalan itu datangnya beruntun tanpa jeda, apa masih bisa disebut awal keberhasilan? Dan apa bisa dinikmati dengan baik dan benar? Ava Elea Marie, gadis berusia dua puluh enam tahun itu bermonolog. Ia mulai sangsi dengan kalimat bijak yang mengatakan bahwa kegagalan itu awal dari keberhasilan. Ia mulai lelah dengan segala ekspektasi dan harapan yang pernah ia ukir.

“Dan kayaknya gue bakal balik kampung dulu, deh, Sav. Gak tahu gimana selanjutnya,” gumam Elea tanpa minat. Savana masih mendengar meski sangat pelan.

“Iya, lo balik dulu aja. Tenangin diri sama otak. Ada kebun teh, kan, di dekat rumah lo. Enak banget pasti suasananya.” Sava mendukung dengan excited.

“Lo mau ikut, Sav?” ajak Elea. Meski hanya basa-basi, Elea tidak serius soal ajakan itu. Ada satu lagi rahasia yang sejak lama ia sembunyikan dari Sava, juga yang menjadi alasan mengapa Elea tidak pernah mengenalkan Avandra kepada orang tuanya.

“Em, enggak dulu, deh, Lea,” jawab Sava sungkan. Elea menarik napas lega. “Kapan-kapan, yaa,” lanjut Sava dengan semangat.

Gak usah, Sav. Kapan-kapan juga gak usah. Gue aja gak mau balik sebenarnya. Cuma karena kepaksa. Di sini juga udah di-PHK. Sekalian nyari inspirasi di desa, manatau nemu.

Dia benci mengakui bahwa ia malas untuk kembali ke desa yang kata Sava pasti menyenangkan itu. Elea tidak menyalahkan Sava atas pendapat itu, karena siapa pun akan berpikiran hal yang sama. Rumahnya dekat dengan kebun teh. Masyarakatnya ramah. Namun Elea tidak pernah merasakan kenyamanan di sana. Ia hanya merasa tenang ketika pergi ke danau yang tidak jauh dari rumahnya.

Danau itu adalah tempat bermainnya sejak kecil. Tempat yang paling ia rindukan jika kembali ke desa. Bukan rumahnya. Rumahnya itu hanya bangunan yang kokoh berdiri. Rumah kayu yang indah dari luar, namun tidak di dalam. Tidak ditemukan kenyamanan di sana.

Sudah lama dia kehilangan rumahnya. Rumah itu sudah lama rusak.

Life After BreakUp [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang