Tentang Ayah

15 4 1
                                    

Pagi yang cerah saat Syail menjemput Elea di rumah. Hubungan Elea dan ibunya berangsur baik, meski sempat terjadi pertengkaran hebat waktu itu. Saat Elea marah karena ternyata ibunya menceritakan banyak hal tentangnya kepada Syail, padahal ibunya tidak pernah seakrab itu dengannya. Sampai ucapan Syail terus terngiang di benak Elea.

“Lea, maaf kalau aku kesannya ikut campur, tapi aku ngasih tau ini supaya kamu gak selalu bersikap egois dan semau kamu. Kamu gak bisa terus hidup di dunia kamu aja. Kamu gak boleh mikirin diri kamu sendiri. Ibu kamu gak jahat, dia cuma mau yang terbaik buat kamu. Hidup ibu kamu gak pernah mudah, Lea. Dia banyak mengalami kesulitan dalam hidupnya. Tanpa kamu tahu, dia selalu banggain kamu, meski banyak warga sering membicarakan yang tidak baik tentang kamu. Dia selalu jadi garda terdepan untuk hidup kamu. Pikirin ibu kamu, ya, Lea.”

Setelahnya, Lea tidak lagi meninggikan suara di hadapan ibunya. Meski belum sepenuhnya akrab, setidaknya keduanya tidak lagi mengibarkan bendera perang setiap bertemu.

Syail muncul dengan motor kesayangannya. Kamera yang akan mereka gunakan untuk memotret, sudah tergantung di leher Syail. Hari ini, mereka akan mulai bertualang kembali, memperjuangkan mimpi yang kemarin sempat patah.

Rumah yang kemarin, tidak akan lagi mereka tempati, setelah Elea mengatakan bahwa Avandra adalah mantannya dan dengan teganya menjadikan Elea selingkuhan. Syail sempat marah dan berniat menemui Avan, tetapi Elea menahan. Masa lalu biarlah tertinggal di sana, tanpa perlu membawanya kembali ke masa kini. Masa lalu tidak memiliki tempat lagi sekarang. Cukup tinggalkan dan terus melangkah maju.

Tempat pertama yang hendak mereka kunjungi adalah Pasar Raya Desa. Tempat yang selalu ramai oleh penjual dan pembeli. Segala kebutuhan ada di sana. Syail berpendapat bahwa tiap sisi pasar selalu bisa menciptakan keestetikan sendiri. Elea tidak paham sisi estetik yang Syail sebutkan, tetapi ia tetap menuruti Syail.

Pedagang ikan, sayur, buah sampai warung kopi menjadi objek yang Syail potret. Para pedagang senang-senang saja, apalagi Syail mengatakan bahwa ia akan memajang foto tersebut dan tentunya akan menjadi viral. Para pedagang bersorak dan meminta Syail mengundang mereka di acara tersebut.

“Tentu, Pak, Bu. Doakan saja semoga semuanya sukses. Kita semua akan berpesta di hari itu,” ucap Syail bersemangat. Elea tertawa. Rasa haru memenuhi dada Elea. Tidak ia sangka respon baik akan mereka dapati di pasar ini. Wajah ceria dan bersemangat menjadi pemandangan yang menenangkan. Sampai mereka berpamitan dan pergi ke tempat selanjutnya.

Kali ini mereka memutuskan untuk berkeliling tanpa tujuan. Kini, Elea yang mengambil alih kamera. Membidikkan lensa ke arah yang menurutnya menarik. Meski tidak semahir Syail, Elea tetap bisa menggunakan kamera dengan baik.

Elea memotret pohon, jalanan, burung yang terbang bergerombolan, awan yang putih bersih dan banyak objek lain. Tidak lupa, Elea membuat vlog untuk mengabadikan perjalanan mereka. Semoga saja vlog ini bisa diedit dan ditampilkan di pameran nanti.

Elea masih asyik memotret banyak hal, hingga matanya menangkap sosok yang tampak tidak asing di matanya. Sebelum Elea sempat meminta Syail menghentikan motornya, Syail sudah lebih dahulu mengerem mendadak. Elea sampai terdorong ke depan.

“Apaan, sih? Kok, ngerem mendadak? Terkejut, weh,” protes Elea sambil mengelus jidatnya yang sempat beradu dengan punggung kokoh Syail.

“Sorry, Lea.”

Sebelum sempat Syail meminta Elea turun, gadis itu sudah lebih dulu mendatangi sosok pria yang sedang duduk di depan halte tempat menunggu bus.

“Loh, Bapak yang kemarin di bus, kan? Kok, udah di sini aja?” tanya Elea bersemangat tanpa memedulikan Syail yang berdiri kaku di belakangnya.

“Eh, Nak. Akhirnya, kita ketemu lagi.” Bapak tersebut tersenyum bahagia.

“Bapak mau ke mana?”

“Ini abis dari ketemu temen di sana.”

“Sendirian, Pak?” tanya Elea yang ikut duduk di samping Bapak tersebut. Syail masih berdiri menatap keduanya.

“Iya. Sebenarnya, Bapak sudah biasa naik bus ini. Dulu, sempat jadi supir bus, sebelum kecelakaan dan Bapak gak bisa lagi bawa bus ini. Jadi, Bapak merasa nyaman tiap kali naik bus.”

“Duh, maaf, Pak,” ucap Elea merasa tidak enak hati.

“Tidak apa-apa. Sudah berlalu. Ini pacar kamu?” tanyanya ke arah Syail. Syail menghembuskan napas kasar. Ia tidak berniat menjawab pertanyaan Bapak tersebut.

“Oh, bukan, Pak. Ini Syail, temen aku.”

Il, temen, ya.

“Padahal kalian berdua cocok saya lihat,” ucap Bapak tersebut bercanda. Syail menatap penuh arti.

“He-he, masih temenan, Pak. Gak tau nanti.” Elea menatap Syail, seolah memberi kode. Syail masih terdiam, sampai bus yang ditunggu telah berhenti di hadapan mereka.

“Bapak duluan, ya, Nak,” pamit Bapak tersebut dan bergegas menuju bus. Syail mengajak Elea untuk melanjutkan perjalanan, setelah bus tidak tampak lagi di pandangan mereka.

“Lea, kalau misalnya Ayah kamu kembali, kamu gimana?” Pertanyaan tiba-tiba yang Syail lontarkan, membuat Elea mengerutkan dahi heran. Belum menyiapkan jawaban apa pun atas pertanyaan tiba-tiba itu.

“Gimana, apanya?” tanya Elea pura-pura tidak mengerti.

“Ya, respon kamu. Kamu bakal gimana kalau semisal ayah kamu tiba-tiba hadir lagi di hidup kamu?”
Elea terkekeh. Merasa lucu dengan pertanyaan Syail.

“Ngapain lagi dia datang. Kan, udah bahagia sama keluarga lainnya. Sejak awal juga Ibu gak pernah ngasih tahu gimana wajah Ayah. Jadi, aku gak pernah punya ekspektasi apa pun tentang sosok Ayah. Ibu selalu ngalihin pembicaraan tiap aku bahas Ayah dan itu buat aku mengerti kalau pembahasan itu terlalu sensitif buat Ibu,” jawab Elea denial.

Anak perempuan mana yang tidak bahagia bertemu dengan cinta pertamanya?

Elea yakin semua anak pasti ingin dekat dengan orang tua utuhnya. Namun, tidak semua anak bisa mendapat kesempatan serupa.

“Kamu selalu denial dengan perasaanmu. Tidak tampak sedikit pun kejujuran dari ucapan kamu barusan, Lea,” ucap Syail sedikit keras. Ia harus bertarung dengan suara bising angin yang membersamai perjalanan mereka.

Elea terdiam. Ia merasa tidak perlu menjawab perkataan Syail barusan.

“Kamu sudah dewasa. Kamu punya hak untuk mengenali ayah kamu, Lea.”

“Itu akan menyakiti ibuku, Syail. Aku gak mau. Cukup aku selalu buat Ibu nangis.”

“Tapi kamu berhak tahu, Lea. Seiring berjalannya waktu, ibumu akan berdamai tentang ini atau mungkin saja, saat ini ibumu sudah bisa menerima takdirnya. Ibumu wanita kuat, Lea.”

“Belum, Ibu belum bisa berdamai. Aku tahu itu. Lukanya masih belum kering. Nyatanya, waktu belum bisa menghapus luka Ibu.”

“Tapi, aku harus memberi tahu ini. Maaf kalau kamu merasa aku lancang. Aku merasa punya kewajiban untuk memberi tahu hal ini,” ucap Syail memelankan laju motornya.

Elea menunggu kalimat yang akan Syail ucapkan.

Syail terdiam cukup lama. Hingga fakta yang diucapkannya, membuat Elea terkesiap.

“Lea, pria tadi itu ayah kamu.”

Life After BreakUp [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang