(Bukan) Rumah

30 10 0
                                    


"Bu, Lea udah di jalan pulang."

Pesan yang Elea kirim satu jam lalu hanya dibaca tanpa balas. Ibunya sering sekali begitu. Selalu mengabaikan pesan yang dirasa tidak menyenangkan dan tidak ia setujui.

"Ibu beneran gak rindu, ya, sama Lea?" tanya Lea pelan ke dirinya sendiri. Ia juga ingin seperti orang lain yang kepulangannya disambut dengan pelukan hangat. Senyuman ibunya sudah lama ia rindukan.

Jarak kota dengan rumahnya lumayan jauh, enam jam. Ia memutuskan untuk mengendarai bus yang akan mengantarnya sampai terminal. Elea sudah menghubungi Andra, sepupunya untuk menjemput.

Ketika Elea hendak memejamkan mata, netranya menangkap sosok bapak berusia setengah baya yang kesusahan berjalan menuju ke belakang. Dengan cekatan Elea membantu bapak tersebut. Bapak dengan perawakan tidak terlalu tinggi itu memandang Elea dalam.

"Maaf, Pak. Ayo, saya bantu ke belakang," ucap Elea sopan sambil tetap memegang tangan si bapak.

"Terima kasih, Nak. Kamu baik sekali. Orangtuamu pasti bangga punya anak sebaik dan secantik kamu," kata bapak dengan sorot mata tulus.

Elea terdiam. Sayangnya, mereka tidak pernah bangga sama saya, Pak.

Elea menunggu si bapak di depan pintu toilet. Selang lima menit kemudian, sosok bapak tersebut sudah muncul di depan Elea. Elea kembali membantunya berjalan.

"Bapak sendiri aja?"

"Iya. Anak saya gak mau nganterin ke rumah sakit. Istri saya juga lebih milih temen-temennya. Mungkin karma buat saya. Saya jadi teringat mantan istri saya waktu lihat kamu. Kayaknya anak saya yang pertama sudah sebesar kamu." Elea menuntun si bapak sampai kembali ke bangkunya yang ternyata berada tepat di belakang Elea. Ia bercerita sedikit tentang hidupnya. Cerita yang membuat Elea terdiam kaku tanpa tahu harus merespon bagaimana. Ia seperti masuk ke dalam cerita tersebut. Ia ada di dalam kisah itu.

Dua jam berlalu, bapak yang duduk di belakang Elea turun di halte dekat rumah sakit. Ternyata benar ia ke rumah sakit sendiri. Andai saja Elea bisa menemani, tentu ia akan dengan senang hati mendampingi bapak tersebut di sana.

"Duluan, ya, Nak," pamit si bapak.

"Iya, Pak, hati-hati." Elea ingin menuntun bapak tersebut sampai ke luar, tetapi ia menolak.

"Tidak perlu, Nak. Saya bisa sendiri. Semoga kita bisa bertemu lagi. Saya senang bertemu gadis sebaik kamu." Kalimat tulus mengalir deras dari lisan si bapak. Elea masih memandangi sampai rumah sakit itu tidak tampak lagi di sudut matanya. Ia menghela napas kasar.

Ia tahu rasanya, pasti tidak akan menyenangkan melakukan banyak hal sendiri. Pikirannya langsung mengarah kepada ibunya yang sering melakukan sesuatu sendirian. Tidak mau merepotkan siapa pun.

Elea yang tidak tega meninggalkan ibunya sendiri di rumah, lantas meminta Andra menemani sang ibu. Tentu saja ibunya menolak. Namun, Elea tahu bahwa keras kepala harus dilawan dengan keras kepala yang sama. Ia terus memaksa hingga ibunya mau menerima.

"Ah, andai aja Bapak gak ninggalin kita, pasti Ibu gak akan terus memaksa Elea untuk jadi seperti ini dan seperti itu. Rumah akan tetap jadi tempat pulang yang menyenangkan. Tempat kembali yang aman dan nyaman. Elea jadi penasaran, modelan Bapak gimana, sih? Elea penasaran." Elea bermonolog.

Pemandangan sawah yang luas, terpampang nyata di balik jendela busnya. Bus ini tidak seramai tadi. Sudah banyak yang turun di tempat tujuannya masing-masing. Elea lelah dan mengantuk.

Selang beberapa jam, Elea merasa bus berhenti bergerak. Ia meregangkan badan dan memandang sekitar.

"Ah, sudah sampai rupanya."

Satu tas yang berada di bawah bangkunya, ia bawa keluar. Kopernya masih di bagasi bus. Ia bergegas menuju ke luar dan meminta supir untuk mengambil kopernya.

"Koper pink, Pak. Yang itu," tunjuk Elea ke tumpukan koper yang belum diambil pemiliknya. Supir berbadan gempal tersebut memberikan koper milik Elea. Setelah mengucapkan terima kasih, Elea berjalan menuju tukang sate di dekat jalan.

Belum sempat Elea sampai di tempat sate, terdengar suara yang memanggil namanya keras.

"Woi, Elea. Woah, Sepupu. Akhirnya kembali kamu ke sini. Kirain udah lupa jalan pulang." Andra berlari menuju Elea dengan semangat. Tas dan koper yang sedang Elea pegang, dihempas begitu saja.

"Andra, Sepupu gila gue," teriak Elea heboh. Ia langsung merentangkan tangan bermaksud memeluk Andra.

"Idih, gak ada istilahnya lo-gue di sini. Bukan kota, nih, Bos." Elea tertawa.

"Ah, yok, balik. Laper, nih."

Elea dan Andra menuju motor scoopy kesayangan Andra. "Baru, nih, motor," kata Elea sadar.

"Iya, baru beli kemarin."

"Banyak duit, dong. Traktir, ya," ucap Elea sambil mencubit perut Andra sedikit kencang.

"Sakit, Elea. Aku lagi nyetir, weh. Lagian baru balik dari kota malah minta traktir. Harusnya kamu yang traktir aku. Batagor depan, ya."

"Ah, elah. Kamu gak tahu atau pura-pura gak tahu. Aku abis di-PHK," ucap Elea kesal.

"Lah, mana kutahu. Emang kamu pikir Bibi akan cerita tentang itu ke aku? Gak mungkinlah. Dia cuma ceritain yang bahagia aja soal kamu. Yang pahit begini, ya, disimpan sendiri," jelas Andra sambil berteriak. Angin berdesau kencang, suaranya harus bisa mengalahkan suara angin agar Elea bisa mendengar perkataannya.

Hening. Tidak ada jawaban. Elea meremas tas yang berada di depannya kuat. Hatinya seperti ikut diremas juga.

"Lea," panggil Andra.

"Hem?"

"Oh, masih di sana. Kirain ketinggalan di jembatan layang tadi," ujar Andra menggoda. Elea memukul helm Andra keras.

"Brutal banget emang." Andra mengusap kepalanya yang tertutup helm.

"Biarin. Kamu ngeselin."

"Untung kamu punya sepupu ganteng dan baik kayak aku."

Rumah kayu milik keluarga Elea sudah tampak di depan mata. Elea menghembuskan napas kasar. Akhirnya, ia kembali.

Ibunya yang tadi duduk santai di teras, bergegas masuk ke dalam ketika melihat kedatangan Andra dan Elea. Elea menatap kosong kepergian ibunya. Senyumnya hilang dalam sekejap.

Andra yang sadar akan suasana tidak mengenakkan itu, langsung mengambil tas dan koper Elea. Elea masih mematung. "Ayo, masuk," ajak Andra yang berjalan di depan Elea.

"Andra. Segitunya Ibu gak pengen aku balik? Ibu emang gak pernah rindu, ya, sama aku?" Satu tetes air mata menjadi pertanda kekecewaan yang dirasakan Elea.

Benar. Rumah ini bukan lagi rumahnya.

Elea mengusap air matanya kasar. Ia tidak boleh cengeng. Bukannya ia sudah yakin akan mendapatkan respon seperti ini? Harusnya ia tidak perlu terkejut, bukan?

"Mungkin Bibi capek abis dari kebun. Kamu jangan langsung sedih gitu, dong. Pulang kampung harus senang. Apalagi kamu udah lama banget gak nginjakkan kaki ke rumah ini." Andra mencoba menghibur, meski ia tahu tidak akan ada gunanya. Wajah Elea masih sama mendungnya dengan langit yang sedang bersiap-siap menurunkan hujan.

"Aku selalu bahagia. Ah, aku selalu berusaha buat bahagia. Tapi, kayaknya Ibu yang gak pernah bahagia liat aku balik. Padahal aku putri satu-satunya, loh." Elea tertawa. Namun, tentu bukan tawa bahagia. Andra meringis mendengar tawa itu.

"Jangan gitu, ah, Lea. Gak baik negatif thinking sama orang tua." Andra belum bergerak lagi setelah Elea mengajaknya berbicara. Ia meletakkan koper dan tas Elea di teras, lalu mendatangi Elea kembali.

"Sedih banget. Sakit."

Tanpa keduanya sadari, ibunya merasakan sakit yang sama.  Di balik pintu, ibunya menepuk dada kencang. Sesak ia rasakan. Ingin sekali ia berlari dan menyambut kepulangan putri yang sangat ia rindukan. Namun, ia tidak ingin jadi ibu yang lemah. Ia ingin putrinya kuat dan tidak menye-menye. Hidup putrinya harus sejahtera dan bahagia. Dan ia yakin, bukan di sini tempatnya.

Life After BreakUp [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang