"Eh, Elea. Kapan balik ke sini? Udah lama, loh, Bibi gak liat Elea." Sapaan pertama ia dengar dari bibi Rinda, petani kebun teh yang juga teman ibunya. Bibi Rinda sedang memotong pucuk teh lalu dilemparkan ke keranjang. Pertanyaan masih normal. Belum menyinggung.
"Ah, iya, Bi. Kemarin," jawab Elea sopan dengan senyum manis yang tertata dari bibirnya.
"Kok tiba-tiba pulang, Lea. Ada kepentingan apa?" Kali ini Bu Rosita yang memberikan pertanyaan. Tetangga yang hanya beda tiga rumah dari rumah Elea. Pertanyaan sudah masuk tahap sedikit sulit, mulai menyinggung dan terkesan terlalu ingin tahu.
"Ah, enggak, kok, Bu. Mau liburan aja," jawab Elea dengan senyuman yang tidak setulus tadi. Ia mulai sedikit terganggu.
"Emang gak kerja kamu?" tanya Bu Rosita lagi.
Andra menarik napas kasar. Dasar, ya, Ibu-ibu. Sibuk banget ngurusin hidup orang. Kayak hidupnya udah bener aja.
Lama Elea menjawab. Ia masih sibuk menata perasaannya yang mendadak membenci Bu Rosita. Padahal normal saja Bu Rosita bertanya demikian. Ia tentu tidak mengetahui bahwa Elea sudah berhenti dari kantornya. Memang hati Elea saja yang sensitif. Salahkan ia yang tidak mau mendengarkan ucapan ibunya tadi.
"Ah, lagi libur, Bu," jawabnya mencoba tetap ramah, meski jelas suaranya menyimpan sedikit kekesalan. Andra paham tentang hal itu.
"Udah mau menikah, ya, kamu makanya pulang ke sini? Mau nyiapin pesta? Kapan ngundangnya?" Pertanyaan selanjutnya hadir dari bibir tebal milik bibi Sonia, ketua perkumpulan ibu-ibu gosip di desa itu. Bibirnya selalu bergerak dengan semangat, jika sedang berghibah. Orang nomor satu yang paling ibunya hindari. Benar saja, Elea kembali menemui manusia menyebalkan ini.
Tidak ia sangka ada bibi Sonia di sana. Ternyata ia sedang mengambil batu kecil yang masuk ke dalam sepatu boots-nya. Jadi, Elea tidak melihat bibi Sonia tadi.
"Eh, bukan, Bi. Aku cuma mau ketemu sama Ibu," jawab Elea sopan.
"Loh, kok belum, sih? Umur kamu udah dua enam, kan, ya? Seusia sama Ramona. Anaknya udah mau dua, loh," jawabnya dengan bibir yang bergerak dengan sangat semangat. Ramona, putrinya yang selalu ia banggakan, padahal siapa yang tidak tahu alasan pernikahan putrinya itu. Seluruh masyarakat juga tahu. Namun, ia selalu membanggakan putrinya yang menikah dengan putra pengusaha dari kampung sebelah.
"He-he, belum ketemu jodohnya, Bi. Kami permisi." Elea berucap sopan sambil melanjutkan perjalannya.
"Kasian banget, ya, umur segitu belum menikah. Bentar lagi jadi perawan tua, tuh. Gitu, deh, kalau kelamaan di kota, jadi sok merasa gak butuh laki-laki. Gak mau nikah." Elea mendengar perkataan yang sangat menyinggungnya itu, diucapkan dengan enteng oleh seorang ibu yang punya anak perempuan yang pernikahannya terjadi pun karena kesalahan. Married by accident.
Ia menarik napas kasar. Ternyata manusiawi untuk merasa terganggu dengan ucapan orang lain. Kita berhak tersinggung dengan ucapan semena-mena yang mereka saja tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Lagi-lagi, ibunya benar.
--
Elea berjalan perlahan dengan pikiran yang terasa berat. Sepulang dari kebun teh, Elea meminta Andra untuk pulang lebih dulu. Ia ingin ke suatu tempat. Tempat yang begitu ia rindukan.
Perkataan yang diucapkan ibu-ibu tadi terasa begitu mengganggu. Mood-nya yang dari rumah sudah buruk, menjadi lebih buruk lagi. Niat hati ingin merasakan suasana adem kebun teh, ternyata sebab overthinking dimulai.
Elea sampai di danau buatan yang sudah ada sejak ia masih kecil. Danau tempat ia sering menghabiskan waktu dengan teman-temannya, terutama Syailendra Alfansyah Putra, sahabat kecilnya.
Pohon besar di dekat danau menjadi tempat yang Elea tuju. Ia membuka notebook yang dibawa dari rumah. Elea senang sekali menulis atau menggambar hal-hal yang menyenangkan ataupun menyakitkan yang ia rasakan hari itu.
Matanya menatap jauh ke danau. Elea berusaha untuk tidak berkedip, menahan setetes air mata yang siap jatuh kapan pun ia menutup mata. Dan benar saja, setetes air mata itu mengenai bukunya yang terbuka, kala matanya tidak kuasa lagi menahan air mata itu.
"Sial. Hidup, kok, gini amat, ya? Mau balik ke kota, bakal jadi pengangguran. Di sini juga jadi bahan pembicaraan ibu-ibu. Gue mesti ke mana?" tanya Elea ke diri sendiri. Pertanyaan yang entah siapa bisa menjawabnya.
Elea mulai menuliskan hal-hal yang mengganggu perasaan dan pikirannya. Membuat sketsa abstrak yang hanya bisa dipahami dirinya sendiri. Elea suka menulis dan menggambar. Meski tidak semua orang bisa mengerti maksud dari gambar dan tulisan Elea.
Setelah selesai menulis dan menggambar, Elea merobek kertas tersebut dari buku. Ia akan membuat pesawat terbang dari kertas tersebut. Ia rindu kebiasaannya ini. Untung saja ia tidak melupakan cara membuat pesawat kertas.
Ia selalu suka dengan pesawat. Alat transportasi yang membawa penumpangnya sampai ke tujuan masing-masing. Ada banyak rindu yang terpahat dalam hati tiap insan yang berada dalam pesawat. Asa, cita dan bahagia dibawa serta. Mereka percaya, sang pilot akan mengantarkan semua penumpang selamat sampai tujuan masing-masing.
Begitu pun dengan pesawat kertas yang ada di tangannya saat ini. Meski tidak bisa terbang sejauh pesawat, ia selalu berharap angin dapat menyampaikan pesan yang ada di dalamnya.
Elea bersiap menerbangkan pesawat kertas yang sudah berhasil ia buat. Pesawat kertas itu jatuh tepat di permukaan danau. Elea lalu menenggelamkan kepalanya di antara dua lututnya. Mulai terisak.
Rasanya sangat menyesakkan. Ia ingin pulang ke rumah dan memeluk ibunya erat. Namun, ia tahu itu tidak akan terjadi. Ibu tidak pernah suka putrinya bersikap cengeng. Ibunya akan marah dan memaksanya menghentikan tangis. Elea dilarang membagikan lukanya sejak dulu. Danau selalu menjadi tempat pelarian. Danau yang selalu didatangi anak laki-laki seusianya.
Anak itu akan menghibur Elea dengan tingkah konyolnya. Elea selalu berhasil menghentikan tangisnya karena anak laki-laki itu. Anak laki-laki dengan dimple di pipinya. Selalu manis jika tersenyum. Elea selalu menyukai senyum riang anak itu ketika meminta Elea berjanji untuk tidak bersedih lagi.
"Dra, aku gagal menuhi janji buat selalu bahagia dan gak sedih lagi. Aku gagal buat jadi perempuan kuat seperti maumu waktu kita kecil dulu. Kamu jangan kecewa, ya, sama aku yang sekarang." Elea bermonolog. Wajahnya masih ia tenggelamkan di antara kedua kakinya.
"Andai aja kamu di sini, pasti kamu bisa hibur aku. Bikin aku ketawa lagi."
Langkah kaki terdengar. Elea belum berniat mendongakkan kepalanya untuk melihat seseorang yang mendekatinya. Lagian ia terlalu malu untuk memperlihatkan wajahnya yang penuh dengan air mata.
"Ternyata kebiasaan aneh kamu masih kebawa, ya, sampai sekarang. Harusnya perahu yang dibuat di atas danau ini, bukan pesawat kertas. Pesawat itu di udara, bukan danau gini." Sebuah suara mengagetkan Elea. Membuat ia segera melihat sosok yang sudah berdiri tegak di depannya.
"Kamu ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Life After BreakUp [OPEN PO]
RomanceAva Elea Marie ingin menjalani life after breakup di usia 26 tahun dengan banyak impian yang sejak lama ingin ia capai. Namun, sepertinya semesta tidak membolehkannya untuk sekedar bersantai sebentar saja. Lantas, bagaimana jadinya life after break...