Di Balik Penolakan

26 10 0
                                    

Pemandangan pagi yang berbeda bagi Elea. Jika biasanya di hadapannya adalah gedung-gedung tinggi dan asap yang membubung, kali ini hamparan kebun teh memanjakan mata. Udara yang sejuk dan menenangkan, kini mengisi alveolusnya. Suasana ini sudah lama Elea rindukan. Dibanding suasana bising kota, ia lebih suka tenangnya desa. Nyaman dan tentram.

Langkahnya tergerak menuju dapur. Elea berniat membantu ibunya memasak. Hitung-hitung pendekatan, agar kiranya ibunya mau berbincang lebih akrab setelah ini.

"Ibu, masak apa? Boleh Elea bantu?" Elea menghampiri ibunya ̶ yang sedang menggoreng ikan ̶ dengan semangat. Ia sampai melompat-lompat saking riangnya.

"Kamu gak usah ke sini. Biar Ibu aja," ucap ibunya datar dan dingin. Elea yang hampir saja memeluk ibunya dari belakang, langsung mengurungkan niatnya. Tangannya terjatuh sebelum sempat ia gunakan untuk memeluk sang ibu. Pandangan matanya menatap tidak percaya. Bahunya melesak kecewa dengan respon yang ibunya berikan. Ia menundukkan kepala sambil tersenyum getir. Respon seperti ini ia dapatkan sejak kemarin. Terlalu excited dibalas dengan terlalu dingin. Rasanya sangat tidak menyenangkan.

"Harusnya tempat kamu bukan di sini. Ibu nyekolahin kamu biar tinggal nyaman di kota, bukan malah balik ke desa ini." Ibunya lanjut berbicara tanpa melihat ke arah Elea yang matanya sudah berkaca-kaca. "Kamu mau jadi petani kebun teh, kayak ibu, iya? Itu mau kamu?"

"Bu, apa salahnya Elea bantuin Ibu di sini? Anak Ibu cuma Elea. Ibu beneran gak mau deket terus sama Elea? Ibu gak rindu Elea?" tanya Elea menahan isak tangis. Suaranya sudah terdengar parau.

"Apalah arti rindu kalau akhirnya kamu menderita hidup di sini. Rindu itu gak penting, cuma buang-buang waktu," jawab ibunya lugas. Ikan yang ia goreng sudah matang. Saatnya memasak sambal yang sudah ia giling tadi.

"Elea gak menderita tinggal di sini. Elea senang bisa deket sama Ibu kayak gini. Bicara langsung sama Ibu. Bisa lihat Ibu."

"Ibu yang gak senang Elea," sentak Ibunya kasar. Ia bahkan membalik badan dan menarik tangan Elea kuat, "Ibu gak mau kamu tinggal di sini. Dibicarain tetangga karena balik lagi ke sini. Ibu gak tega lihat kamu jadi bahan gibah mereka." Akhirnya tangis ibunya merebak. Air mata yang sejak kemarin ia tahan, mengalir deras juga.

"Elea gak peduli ucapan mereka, Bu. Yang penting Elea bisa sama Ibu," tangis Elea menjadi-jadi. Tidak lagi ia menahan air mata itu. Biar saja saat ini mereka berdua saling mengedepankan egonya masing-masing.

"Ibu peduli. Hati ibu sakit tiap kali mereka membicarakan soal kamu yang belum menikah, padahal sudah dua puluh enam tahun. Mereka juga selalu mengaitkan dengan kisah Ibu yang ditinggalkan waktu mengandung kamu. Mereka bilang keluarga kita menyedihkan. Itu yang mau kamu dengar di desa ini Elea? Kamu mau ikut mendengarkan semua ucapan mereka?" teriak ibunya tepat di hadapan Elea. Ia sempat melupakan sambal yang sedang dimasaknya. Tercium aroma gosong dari masakan itu. Ibunya bergegas mengambil spatula dan mengaduknya.

Elea terdiam kaku. Ternyata ibunya juga menyimpan luka yang sama besarnya. Hidup di desa yang menjadikan umur sebagai patokan pernikahan, terkadang memang menyesakkan. Anak gadis yang belum menikah di usia dua puluh tiga tahun, kerap dijadikan bahan ghibah oleh ibu-ibu ketika sedang berkumpul di kebun teh. Belum lagi title perawan tua yang disematkan kepada gadis yang belum menikah di usia dua puluh tujuh. Satu tahun lagi dan Elea akan resmi menyandang gelar itu di desa ini. Itu yang ibunya khawatirkan.

Kegagalannya dalam berumah tangga selalu membuat ibu Elea tidak nyaman membahas soal pernikahan. Ia juga bukan orang tua yang memaksa anaknya untuk segera menikah. Elea bebas menentukan hidupnya soal pernikahan. Jadi sangat tidak adil rasanya melihat orang lain lebih sibuk mengurus hal yang ia saja tidak ambil pusing soal itu. Elea adalah putrinya, tapi kenapa mereka yang sangat sibuk memikirkan nasib pernikahan putrinya itu?

Masakan itu telah matang meski tidak sempurna. Debat barusan membuat masakan itu sedikit gosong karena tidak terlalu diperhatikan. Ibunya berjalan menuju ruang makan, meninggalkan Elea yang masih terdiam kaku.

"Andra, Lea, ayo, makan!" Suara ibunya menggema di rumah kayu berlantai satu itu. Elea tersadar dan bergegas menuju ruang makan.

"Wah, enak, nih. Ikan kakap kesukaan Lea," ucap Andra dengan handphone di tangannya. Lelaki ini senang sekali bermain game online, mobile legend. Ia pura-pura tidak mendengar teriakan bibinya tadi. Ia tidak ingin ikut campur masalah ibu dan anak itu.

Tidak ada jawaban. Elea dan ibunya terdiam, membuat Andra memandang keduanya bergantian. Ekspresi tegang mereka membuat Andra menarik kursi kaku.

Tegang banget suasananya. Takut, oy. Aku harus apa ini? Tolong aku, Tuhan. Andra membatin.

Untungnya ibu Elea langsung bisa merubah suasana. Ia duduk di kursi dan mengambil nasinya. Elea ikut duduk di samping Andra.

"Lea, abis ini mau kemana?" tanya Andra basa-basi. Ia tidak suka suasana tegang dan tidak manusiawi seperti barusan.

"Belum tau. Kebun teh, yok!" ajak Elea kepada Andra. Ia mencoba mengabaikan tatapan tajam ibunya.

"Jangan ke kebun teh," tolak ibunya sambil menatap Elea.

"Kenapa lagi, sih, Bu?" Elea tidak habis pikir dengan ibunya yang terlalu memikirkan dirinya. Elea tahu ibunya terluka, tapi tidak harus melarang dia untuk keluar rumah, kan?

"Ibu bilang jangan. Tetap di rumah." Ibunya mulai menyendok nasi dan lauk ke mulutnya.

"Aku tetap keluar. Lagian kebun tehnya di depan, kok. Gak jauh. Jalan kaki juga bisa," bantah Elea kekeuh dengan ucapannya.

Ibunya menghentikan kunyahannya. Matanya menatap tajam Elea. Putrinya sudah berani membantah. Sepertinya ia sudah lelah selalu menurut selama ini.

"Terserah kamu," putus ibunya kecewa. Andra menarik napas kasar menatap interaksi tidak biasa dari seorang ibu dan putrinya. Andra selalu heran dengan Elea dan bibinya yang tampak tidak pernah akur, padahal Elea jarang sekali pulang. Harusnya momen pertemuan seperti ini menjadi sakral dan penuh cinta. Mereka berbeda.

Selepas makan, Elea menarik Andra ke luar rumah. Mereka akan ke kebun teh.

"Kayaknya kita mesti nurutin kata Bibi, Lea. Diakan Ibu kamu. Pasti Bibi tahu yang terbaik buat kamu. Dia ngelarang kamu karena ̶  " Ucapan Andra disela oleh Elea.

"Ya, sudah, kalau kamu gak mau temani aku. Aku bisa sendiri," ujar Elea sambil berjalan menuju kebun teh di depannya. Andra bergegas mengikuti.

"Elah, bukan begitu. Ya, udah, ayo." Andra pasrah saja dengan keras kepala sepupunya ini.

"Nah, ini baru sepupu baikku," ucap Elea tersenyum ke arah Andra.

Diam-diam Elea menyimpan perasaan bersalah kepada ibunya karena telah membantah ucapannya. Elea hanya tidak ingin ibunya terus-menerus hidup dalam pikiran dan pandangan orang lain. Hidup bukan untuk menyenangkan dan memenuhi ekspektasi semua orang. Elea ingin membuktikan kalau ia tidak akan terganggu dengan ucapan-ucapan dari masyarakat desa.

Life After BreakUp [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang