“Kamu ...,” ucap Elea tidak percaya dengan sosok yang berdiri di hadapannya. Baru saja Elea memikirkan tentang teman masa kecilnya itu, kini dia sudah muncul di depan mata Elea.
“Iya, aku. Syailmu,” ujar Syailendra dengan senyum yang selalu Elea sukai. Syail memegang pesawat kertas yang pasti berisi tulisan dan gambaran di dalamnya. Kebiasaan Elea sedari dulu yang masih ia ingat. Kertas itu ia simpan di kantong bajunya, tidak ia berikan kembali kepada Elea.
Elea melebarkan mata tidak percaya. Ia sampai harus mengusap mata berkali-kali, memastikan sosok yang berdiri di depannya ini adalah orang yang sedari tadi ia pikirkan. Elea menegakkan badannya dan bersandar di bawah pohon.
“Bener kamu ternyata. Kamu kemana aja, sih?” tanya Elea sambil memukul pelan bahu Syailendra yang kini sudah menyejajarkan badannya dengan Elea. Syailendra tertawa sampai badannya bergetar.
“Masih cengeng ternyata. Udah tua, loh,” canda Syailendra yang bukannya menenangkan, malah menambah tangis Elea. Elea semakin tergugu dan kembali menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut.
Elea merasa deja vu dengan adegan ini. Pertemuan pertama mereka juga di danau ini, dengan keadaan yang sama, Elea yang menangis kencang di sela kedua kakinya. Syail yang saat itu sedang bermain di danau, terganggu dengan suara tangis yang begitu menyedihkan. Syail mendatanginya.
“Anak perempuan itu gak boleh cengeng, harus kuat,” ujarnya pertama kali mendatangi Elea.
Elea yang saat itu sedang sensitif, melawan dengan kalimat sarkas, “kalau gak tau apa-apa, mending diem.”
Syail menuruti perkataan Elea. Syail mulai mendatangi Elea dan terhenti tepat di samping gadis kecil yang masih betah menenggelamkan kepalanya di antara kedua lututnya itu. Ia ikut duduk di samping Elea.
Bingung bagaimana cara menenangkan tangis gadis kecil itu, Syail hanya berbisik meminta Elea diam. Tangannya terangkat dan mulai mengelus punggung Elea secara perlahan. Pertemuan yang tidak manis, tapi berbekas di hati Elea sampai dewasa.
“Rindu banget, ya, sama aku?” tanya Syail sambil duduk di samping Elea, seperti saat mereka kecil. Namun, kali ini Syail tidak mengusap punggung Elea menenangkan, ia masih merasa canggung. Ini pertemuan mereka kembali setelah sekian lama.
“Rindulah. Kamu temanku. Kamu kemana aja, sih?” Elea masih penasaran kemana Syail pergi sewaktu mereka SMA waktu itu.
“Ke tempat Papa. Biasalah, anak broken home. Kadang ikut Mama, kadang ikut Papa,” jawab Syail sambil matanya menatap lurus ke depan. Ada luka yang tampak jelas terlihat di mata itu.
“Kenapa gak pamit, sih?” protes Elea sambil mengerucutkan bibir. Syail tertawa gemas.
“Namanya juga buru-buru, Le. Gak sempat. Papa datangnya tengah malam sama istri barunya.” Syail menjawab getir.
“Terus sekarang kamu ngapain balik ke sini?” Elea bertanya sambil memandang penuh pada Syail di sampingnya. Wajah itu tampak dewasa dan tampan. Elea baru sadar ada kamera yang menggantung di leher Syail.
“Nyari inspirasi buat ngelukis. Dua bulan lagi ada gelaran seni di kota. Aku mau ikut berkontribusi memberikan lukisanku. Ya, itung-itung pengalaman buat bikin galeri sendiri nantinya,” jelas Syail yang membuat Elea melebarkan kembali matanya.
“Gila. Ini, kan, impian aku banget. Ih, keren.” Elea teringat dirinya yang baru di-PHK, wajahnya yang tadinya riang, kembali ditekuk.
“Iya, aku tahu banget ini impian kamu, makanya aku berusaha buat ikut. Aku inget banget wish list yang kamu tulis di buku harian yang selalu kamu bawa kemana-mana waktu kita SMP. Makanya waktu aku lihat info ini, aku langsung keinget kamu.”
Elea menggigit bibir, menahan tangisnya kembali. “Harusnya impian aku bukan diwujudin sama kamu. Ini tugas aku, mimpi aku. Aku sekarang malah gak bisa wujudin satu pun mimpi yang aku tulis di buku itu.” Elea menjawab lemas. Semangatnya menurun.
“Siapa bilang kamu gak bisa?” Syail menatap Elea lamat-lamat, menyelami makna dari tiap pertemuan dengan gadis yang sedari dulu mengusik hatinya. “Makanya aku ke sini. Bawa kamera. Nyari inspirasi di desa ini, karena ada kamu di sini.”
Elea balas menatap Syail. Ia merasa janggal dengan perkataan tersebut. “Karena ada aku di sini?” tanyanya sangsi.
“Iya. Aku ke sini, karena kamu juga di sini.” Ah, Elea baru menyadari kejanggalan barusan. Pertemuan ini terlalu tiba-tiba.
“Kamu tahu aku di sini?” tanya Elea sambil menyipitkan mata.
“Tahu,” jawab Syail tanpa beban.
“Kok bisa?”
“Aku juga tahu siapa Tuhanmu.”
“Is, Syail. Kamu bukan Dilan. Gak cocok make dialog kayak gitu. Geli tahu, gak?” Elea tertawa sambil menepuk bahu Syail yang juga sedang tertawa. Syail lega, ternyata Eleanya belum berubah. Ia masih bisa menjadi sebab tawa kencang Elea. Ia tidak peduli badannya akan merah setelah ini karena pukulan Elea yang sedikit kuat setiap kali tertawa.
“Syukur, deh, kalau kamu udah gak sedih lagi,” ungkap Syail tulus. Matanya menatap Elea dalam. Elea yang ditatap seperti itu, mendadak menurunkan tangannya yang sedang memukuli Syail. Elea salah tingkah.
“Tapi serius, deh, kamu kok bisa tahu aku di sini?”
“Dari Mama, mama kamu," lanjut Syail dalam hati.
“Berarti kamu masih suka stalking aku, ya. Hayo, jujur,” seloroh Elea.
“Iya. Masih dan akan selalu begitu,” jawab Syail tanpa beban. Tatapannya masih mengarah seutuhnya kepada Elea.
Sial. Tatapannya mematikan banget. Elea menunduk, menghindari tatapan Syail.
“Cie, salting, cie.”
Syail always be Syail. Syail yang selalu jahil dan rese.
“Is, apaan, sih. Enggak. Kok kamu jadi mendadak alay gini?” tanya Elea, mencoba menyembunyikan sikap salah tingkahnya.
“Hidup berjalan, manusia berubah, tapi perasaan enggak,” gumam Syail. Tiga kata terakhir ia ucap pelan, Elea sampai tidak mendengar apa yang Syail ucap.
“Apa?”
“Hah, apa?” Syail ikutan bertanya. Mengalihkan perhatian Elea, sail menyambung pertanyaannya. “Jadi, Ava Elea Marie yang namanya cantik banget, maukah kamu ikut bekerja sama denganku?”
“Kamu serius? Aku gak jago lukis. Orang-orang gak bakal paham.”
“Itu karena mereka gak ngerti seni. Dan mereka bukan target pasarmu. Sama halnya dengan barang dagangan yang punya target pasarnya sendiri. Lukisan, tulisan bahkan lagu pun ada penikmatnya tersendiri. Tidak usah pikirkan kesukaan orang lain. Kita cuma harus mengusahakan yang terbaik sebisa kita. Selebihnya, biarkan karya kita yang mencari penggemarnya sendiri,” jelas Syail bijak.
“Wih, Syail, keren banget kata-katanya. Ngutip di mana?” canda Elea yang membuat Syail tertawa.
“Dasar. Syail Teguh ini. Jadi, gimana? Mau berjuang bersamaku? Mengerahkan seluruh kemampuan yang kita punya untuk melahirkan karya yang spektakuler?” Syail beranjak dari duduknya dan memberikan tangan kanannya kepada Elea. Elea menerima dan berdiri di samping Syail.
“Kok aku ragu, ya?” Elea masih tidak percaya diri.
“Ah, ayo, lah. Gak boleh ragu-ragu. Kamu hebat. Aku hebat. Kita hebat. Merdeka.” Syail mengambil tangan Elea dan mengepalkan tangan ke udara. Mereka tertawa.
“Oke. Mari kita berjuang bersama.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Life After BreakUp [OPEN PO]
RomanceAva Elea Marie ingin menjalani life after breakup di usia 26 tahun dengan banyak impian yang sejak lama ingin ia capai. Namun, sepertinya semesta tidak membolehkannya untuk sekedar bersantai sebentar saja. Lantas, bagaimana jadinya life after break...