Jujur yang Menyakitkan

19 7 0
                                    

Di jalanan kota yang lengang, Elea dan Syail asyik bercerita di atas motor. Syail mendengarkan semua cerita Elea. Syail selalu senang dengan tawa Elea ketika bercerita. Ah, sepertinya Syail menyukai apa pun tentang Elea.

"Loh, ini, kan, bukan jalan mau ke desa." Elea yang sedari tadi asyik bercerita, sadar dengan jalan yang mereka lalui.

"Iya. Aku mau nunjukin sesuatu ke kamu," jawab Syail santai.

"Dih, apaan?"

"Rahasia."

"Masih lama?" tanya Elea.

"Enggak, kok. Sebentar lagi sampai. Tuh, mulai kelihatan simpangnya," tunjuk Syail ke arah simpang tiga di depan mereka. Syail mengambil jalan ke kanan.

Syail menghentikan motornya di depan sebuah rumah sederhana, namun terlihat asri.

"Ayo, masuk," ajak Syail. Elea memandang heran.

"Rumah siapa, nih? Rumah kamu?" tanya Elea.

"Rumah temen aku. Tapi, dia lagi gak di sini. Aku sering make rumah ini kalau lagi gabut," jawab Syail.

"Baik banget temen kamu," ucap Elea.

"Iya. Sebenarnya aku udah ada galeri kecil-kecilan, sih, di kota tempat aku tinggal. Kapan-kapan ke sana, yuk? Gak terlalu jauh dari sini."

"Kamu bahkan udah punya galeri sendiri? Hebat, ih." Elea memukul Syail kuat, membuat Syail meringis.

"Iya, aku nyoba buat galeri kecil-kecilan, mana tau kita jumpa lagi dan kamu bisa aku ajak ke sana," jelas Syail. Elea mengerutkan kening heran.

"Kenapa kamu kepikiran buat ajak aku?"

"Karena galeri ini memang aku dedikasiin buat kamu, Lea," jujur Syail.

Elea terdiam.

"Udah, ah. Ayo, masuk. Sebelum peralatan ngelukis kita datang, kita beresin ini dulu. Deal?" Syail menarik tangan Elea, sebelum Elea melontarkan banyak sekali pertanyaan yang khawatirnya bisa membuat Syail keceplosan.

"Alamatnya kamu buat di sini?" tanya Elea sambil mulai membersihkan sebuah ruangan yang akan mereka gunakan untuk melukis.

"Iya. Sebenarnya, aku mau langsung ajak kamu ke galeriku di kota. Tapi, gak papa, deh, di sini aja dulu semingguan."

"Kamu mau ajak aku ke galeri?" tanya Elea sangsi.

"Iya. Kamu gak mau?" Syail melirik Elea, takut Elea menolak ajakannya.

"Aku, sih, yes."

"Yes." Syail mengepalkan tangannya ke udara.

Selang dua puluh menit kemudian, mobil yang mengangkut barang yang mereka beli tadi telah sampai. Syail mulai memindahkannya ke ruangan yang sudah mereka bersihkan.

"Yey, akhirnya selesai." Kumpulan cat menjadi barang terakhir yang Syail angkat dari mobil.

"Kita langsung eksekusi, nih?" tanya Syail bersemangat.

"Kamu gak capek abis mindahin semua ini?" Bukannya menjawab, Elea malah kembali melontarkan pertanyaan.

"Enggak. Ayo, semangat."

Syail dan Elea mulai mengeluarkan alat untuk melukis. Dua easel mereka dirikan dan memasukkan kanvas di atasnya.

Elea mengambil kanvas dan kuas kecil terlebih dahulu. Cat akrilik ia pilih. Mencampurnya dengan air di palet cat berbentuk bunga berwarna biru.

Syail masih diam memandangi Elea. Ia belum mengambil kanvas. Elea mulai menggoreskan kuasnya. Menggabungkan warna yang menurutnya menarik. Percobaan pertama, ia merasa gagal. Digantinya kanvas itu dengan yang baru. Syail belum bergerak sama sekali. Ia tampak menikmati pekerjaannya ini. Mengamati Elea yang tampak serius dalam melukis. Keningnya sesekali berkerut, tanda serius. Matanya menyipit. Sesekali terdengar suara desisan dari bibirnya. Syail terkekeh.

"Is, Syail. Kamu liatin aku, ya?" Elea memasang ekspresi kesal.

"Kamu lucu soalnya."

"Ih, aku gak mau lanjut, deh. Gak pede. Aku gak pande lukis. Gagal terus, ih." Elea bergerak menuju Syail. Tidak melanjutkan lukisannya lagi.

"Loh, kok gitu? Kita udah sepakat untuk berjuang sama-sama. Kamu tahu, gak, kalau-"

"Enggak," potong Elea.

"Belum dijelasin, Lea." Syail menyentil dahi Elea.

"He-he. Apa-apa?"

"Aku belajar ngelukis karena kamu, loh. Aku pengen punya cita-cita yang sama kayak kamu. Jadi pelukis yang karyanya bisa menginspirasi banyak orang," terang Syail.

"Tapi aku udah lama ninggalin cita-cita itu. Itu cuma cita-cita Elea waktu masih SMP dulu." Elea menunduk sambil memainkan jarinya.

"Kok aku ngerasa cita-cita itu masih menjadi keinginan kamu, ya? Apa aku salah?" tanya Syail mendekatkan wajahnya kepada Elea yang menunduk. Elea masih diam, tidak menjawab.

"Kamu cuma kurang percaya diri aja. Aku lihat lukisan kamu tadi bagus. Aku paham maknanya, meski sedikit abstrak. Itu tentang perasaan kamu yang lagi gak menentu sekarang, kan, karena abis di-PHK dan diputusin?"

Elea tersentak dan memandang Syail heran.

"Tau darimana kamu kalau aku abis di-PHK?"

"Makanya kamu balik ke sini," lanjut Syail.

"Jawab dulu! Tahu darimana? Dari ibu?" tanya Elea.

Syail mengembuskan napas pelan. "Iya."

"Is, apaan, sih. Kenapa harus kasih tau kamu coba? Kesel, deh. Ini yang bikin aku gak cocok sama Ibu." Elea membalikkan badan, tidak mau menatap ke arah Syail.

"Lea, kalau aku bilang ibu kamu sayang banget sama kamu, kamu bakal percaya?" tanya Syail dengan suara pelan. Elea memilih bungkam. Ia merasa kesal dengan ibunya.

"Lea. Aku mau jujur. Sebenarnya, ibu kamu yang udah bilang ke aku kalau kamu udah di desa. Makanya aku ke sini nyamperin kamu," jelas Elea. Elea menatap Syail tidak percaya.

"Kok kamu bisa komunikasi sama Ibu, tapi gak pernah hubungi aku?" tanya Elea. Syail tidak tahu harus menjawab apa.

"Jawab, Syail!" desak Elea.

"Aku gak mau ngerusak suasana dengan hubungin kamu. Aku ngerasa kalau kamu pasti udah punya pacar di kota."

"Bodoh. Antar aku pulang!" putus Elea sambil bergegas menuju ke luar rumah. Syail menarik rambutnya frustrasi.

"Lea. Denger penjelasan aku dulu!" Syail menghentikan langkah Elea.

"Anter aku pulang, Syail!"

***

Hari-hari berlalu dengan Elea yang masih memilih tidak berinteraksi dengan Syail. Ia kecewa dengan Syail yang tidak menghubunginya, padahal Syail punya nomor kontaknya.

Hingga suatu hari, Andra mendatangi Elea dan mencoba menyadarkannya.

"Lea. Aku gak tahu kenapa kamu marah banget waktu tahu Syail gak hubungin kamu. Bukannya kamu punya pacar waktu itu? Coba bayangin seandainya Syail hubungin kamu, sedangkan kamu posisinya udah ada pacar. Pacar kamu tahu dan kalian berantem. Gitu mau kamu?"

"Kan, Syail sahabat aku dari kecil. Pacar aku pasti pahamlah," jawab Elea santai, membuat Andra menatap tidak percaya.

"Tidak sesederhana itu, Lea. Faktanya tidak akan semudah yang kamu pikirkan. Laki-laki itu makhluk rasionalis. Mana percaya dia sama yang namanya sahabat-sahabatan. Apalagi aku liat interaksi kamu sama Syail yang gak bisa disebut cuma temen. Ada perasaan, Lea."

Lea terdiam mendengar penjelasan Andra.

Mana mungkin aku suka sama Syail. Aku baru putus. Ya, kali langsung berpaling.

"Enggak, ah. Aku baru putus dari hubungan aku yang lima tahun. Gak mungkin semudah itulah buat suka sama orang lain."

"Bukan kamu." Andra pergi meninggalkan Elea yang mendadak memikirkan ucapan Andra barusan.

Syail suka aku?

***

Life After BreakUp [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang