Selamat membaca, sahabat
Pagi-pagi sekali Mama sudah ribut menyuruhku kesana-kemari untuk membersihkan rumah. Katanya nanti siang Mama akan menjadi tuan rumah acara arisan bulanan ibu-ibu.
Helaan napas ku keluarkan setiap menyelesaikan satu pekerjaan.
"Nara! udah selesai nyapunya? bantuin Mama masak."
"Iya Ma sebentar."
ku regangkan badan yang sedikit pegal akibat terlalu lama menunduk, meletakkan sapu yang baru saja digunakan lalu menghampiri Mama.
"Tolong potongin sayurannya," ucap Mama begitu aku berdiri disampingnya.
Tanpa banyak kata aku melaksanakan perintah Mama.
Anak perempuan memang harus apa-apa bisa kayanya.
"Ma nanti Nara mau ke rumah Teh Fifi. Bantuin dia bikin kue."
"Ada acara apa emang?"
"Biasa Ma pesanan orang."
Mama terdiam sebentar kemudian mengangguk.
Bukan sekali dua kali aku membantu Teh Fifi membuat sesuatu. Dia membuka jasa katering dan pesan antar makanan. Setiap mendapat pesanan dengan jumlah besar pasti selalu meminta bantuanku, dan aku selalu mendapat imbalan satu kotak kue atau beberapa pieces makanan manis.
"Maaa! Poci udah dikasih makan?"
Itu suara Dean-adikku, berjalan menghampiri dengan menggendong kucing berwarna putih. Iya benar kucing putih itu bernama Poci. Adikku yang memberi nama. Aneh kan namanya. Padahal aku sudah mengusulkan nama Snow white, tapi Dean bersikeras kalau namanya harus Poci karena kucing itu laki-laki.
"Belum, kasih makan sana. Mandiin sekalian, kucing kamu tuh bau," jawab ku membuat Dean merengut sebal.
"Kakak tuh yang bau, belum mandi," ujar Dean. Dia menjulurkan lidahnya padaku sebelum melenggang pergi.
Menjahili Dean seperti sudah menjadi kebiasaan, ekspresi marahnya begitu lucu. Namun, jika sudah menangis Mama pasti akan menegurku.
Adikku masih berada di sekolah dasar. Dean Alvaro nama lengkapnya. Kami terpaut selisih 8 tahun. Ya memang cukup jauh, kata Mama supaya aku tidak iri sebab perhatian orang tua yang terbagi.
"Udah selesai kan ma. Nara mau mandi terus ke rumah Teh Fifi," ucapku seraya mencuci tangan di wastafel.
"Nggak mau sarapan dulu?"
"Emm nanti aja deh Ma," jawabku.
"Ya udah, nanti hati-hati di jalan."
"Siap Mama."
Aku memang sengaja mengosongkan perut agar bisa mencicipi berbagai macam kue yang nanti dibuat Teh Fifi. Membayangkannya saja sudah membuat lidahku bergoyang.
***
"Dadah, kakak mau main ke rumah Teh Fifi." Aku melambai sambil tersenyum lebar kearah Dean yang sedang merangkai puzzle di kursi halaman.
"Mau ngapain kesana?" Dean menghentikan kegiatannya, atensinya penuh kepadaku.
"Mau ngapain ya? mmm... ada deh," ucapku sedikit meledek.
Dean menatap dengan penuh curiga
"Pasti mau makan-makan kue lagi ya."
"Ihhh mau ikut! Mama Dean mau ikut kakak," teriaknya. Berlari ke dalam mencari Mama.
"Nggak boleh, Dean kan belum makan." Terdengar jawaban Mama.
Aku terkekeh kecil.
Segera ku kayuh sepeda menyusuri jalan komplek sebelum Dean menghampiri dengan rengekan dan tangisannya. Jarak dari rumahku ke rumah Teh Fifi tak terlalu jauh, mungkin hanya selisih 20 rumah saja.
Sesekali ibu-ibu ataupun anak kecil menyapa, ku balas mereka dengan senyuman. Mama memang dikenal cukup ramah, itulah mengapa mama punya banyak relasi, dan aku pun ikut terkena dampaknya. Padahal dipikir-pikir aku jarang keluar rumah hanya untuk sekedar bersosialisasi.
Sampai di rumah Teh Fifi ku standarkan sepeda milikku didekat pagar.
Rumah Teh Fifi tidak terlalu kecil juga tidak terlalu besar. Namun, terlihat nyaman dan rapih. Di halaman rumah terdapat banyak tanaman mawar yang terawat dengan baik, berbagai macam warna dari mawar merah, mawar biru, hingga mawar hitam pun ada. Mawar memang bunga kesukaan Teh Fifi. Tidak hanya menyukai, Teh Fifi juga tau makna dari setiap warna bunga mawar. Aku cukup kagum, yang ku tau hanya arti dari mawar merah, yaitu melambangkan cinta.
Ku ketuk pintu di depan ku tiga kali.
"Teh Fifi! ini Nara."
"Iya sebentar," jawab Teh Fifi dari dalam rumah.
Tak lama Teh Fifi membuka pintu menampakkan dirinya dengan senyuman terpatri.
"Ayo masuk Ra."
Aku berjalan mengikuti Teh Fifi menuju dapur.
"Udah mulai belum Teh?"
Teh Fifi menggeleng. "Baru nyiapin bahan, bentar ya gue beli gula dulu di warung."
"Iya Teh," jawabku disertai anggukan kepala.
Tinggal aku sendirian di dapur Teh Fifi, duduk di kursi meja makan. Dapur dan meja makan memang berdekatan. Pandanganku jatuh ke sekitar. Dapur ini sangat bersih, Teh Fifi merawatnya dengan baik.
Ku gumam kan asal lagu dari boy grup Korea. Ah canggung sekali rasanya berada di rumah orang sendirian. Teh Fifi memang tinggal sendiri. Kedua orangtuanya berada di lain kota. Namun, sesekali mereka datang menyambangi anaknya. Aku juga pernah bertemu mereka.
Teh Fifi itu bukan asli orang Sunda, hanya keturunan saja. Aku memanggilnya Teteh karena suruhan Teh Fifi sendiri. Katanya ibunya selalu memanggilnya begitu.
Beberapa menit berlalu, terdengar suara pintu terbuka. Akhirnya Teh Fifi pulang dengan menenteng kantong plastik berisi gula.
"Lama ya ra? maaf ya, tadi Bu Yayah ngajak gibah dulu," ujarnya.
"Hahaha nggak lama kok Teh, biasa itu Bu Yayah emang gudang gosip. Anak Pak RT sebelah yang katanya ganteng kaya bule nggak pernah ketinggalan pokoknya."
"Bener banget lagi. Bisa sampai berbusa Bu Yayah cerita tentang si bule."
Aku tertawa renyah membayangkan semangat Bu Yayah saat memuji si bule.
"Udah ah, malah kita ikutan gosip. Masih pagi ini," potong Teh Fifi sebelum aku lanjut bercerita.
"Ini kita langsung aja Teh? udah lengkap kan bahannya?"
"Iya biar nggak kesiangan dan cepat selesai."
Dibutuhkan waktu hampir 4 jam hingga semua pesanan telah dibuat. Akhirnya aku dapat bernapas lega. Sungguh melelahkan berkutat dengan mixer dan segala tetek bengeknya, tapi perut ku juga terisi penuh oleh makanan manis tadi. Bahagia sekali rasanya.
"Nih Brownis buat lo," ucap Teh Fifi. Meletakkan satu kotak berisi brownis didepanku.
Senyum lebar ku perlihatkan. "Makasih Teh."
"Eh! Teh, aku mau tanya. Makna mawar kuning apa Teh? warnanya ngejreng mentereng gitu," tanyaku pada Teh Fifi yang sedang merapikan kotak-kotak berisi brownis.
Teh Fifi berhenti sejenak, terlihat berpikir. "mmm— mawar kuning memiliki arti persahabatan, kegembiraan, kepedulian, dan perpisahan yang lembut," terangnya.
"Perpisahan yang lembut maksudnya apa Teh?"
"Maksudnya perpisahan dengan penuh kasih sayang, mengungkapkan penghargaan terhadap hubungan yang telah ada tanpa kesedihan yang mendalam," jelasnya.
"Oh gitu." Aku mengangguk mengerti.
Setelah ku pikirkan ternyata makna bunga tak sesederhana itu. Aku tak bisa sembarangan memberikan bunga, harus tau dulu apa makna dari bunga itu, tapi selama ini aku belum pernah memberikan bunga kepada orang lain.
bersambung...
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Rasa
Teen FictionHampir semua orang pasti pernah mengalami love in silence atau mencintai dalam diam. Entah karena malu untuk mengungkapkannya atau malah untuk menjaga agar tak merusak segalanya. Ketika rasa itu terungkap, ada yang berakhir bahagia ada juga yang mer...