9. Cahaya Kunang-kunang

6 7 2
                                    

Berminggu-minggu telah berlalu sejak kejadian maling mangga bersama Juna. Besok adalah hari libur nasional. Senang? tentu saja, aku bisa menghabiskan waktu bermalas-malasan bersama tumpukan novel milikku. Namun, itu sebelum Mama mengatakan kalau nenek ku yang berada di kota Yogyakarta sedang sakit, dan mereka harus berada disana selama beberapa hari.

Mengunakan alasan bahwa aku harus sekolah keesokan harinya, Mama menitipkan ku kepada Bunda Radit, itu artinya aku harus menginap disana sampai Mama pulang. Padahal Dean juga harus sekolah, kenapa hanya aku dan Poci saja yang ditinggal. Aku juga ingin ikut ke Yogyakarta. Si kucing putih itu juga dititipkan ke pet care. Ini sangat tidak adil.

Sedari tadi aku menekuk wajahku sambil memperhatikan Mama dan Bunda yang sedang berbincang di ruang tamu kediaman Bunda. Hanya ada Bunda dan Ayah Radit. Radit sendiri entah berada dimana saat ini aku tidak peduli.

"Maaf ya, malah jadi ngerepotin gini." Mama beranjak dari duduknya, mungkin sebentar lagi berangkat.

"Nggak papa, Nara udah aku anggap anak sendiri," balas Bunda.

"Makasih loh. Nara jangan nakal ya." Mama mengusak rambutku pelan. Namun, aku tak menanggapi. Aku masih mempertahankan aksi merajuk ku.

"Hati-hati dijalan," pesan Bunda sebelum Mama memasuki mobil.

Bunda kembali menghampiri. "Jangan cemberut gitu, nanti cantiknya hilang," ucap Bunda pelan seraya mencubit pipiku.

"Aku kan pengin ikut jenguk nenek, Bunda," ungkapku lirih.

"Jelek banget muka lo begitu."

Tentu saja celetukan itu mengagetkan ku. Radit berdiri di depan ku dengan tampang menyebalkan. Ingin sekali aku mencakar wajahnya itu. Aku mendelik sinis.

"Kaya anak kecil lo." Radit mencubit hidung ku agak keras.

"Ihh! Sakit!" rintih ku. Aku melepaskan cubitan Radit dari hidungku lalu mengusapnya.

Radit tertawa puas melihat ku kesakitan.

"Heh! Radit nggak usah jahil! Sebentar lagi papa pulang. Bunda mau masak dulu," pamit Bunda kemudian melangkah pergi.

"Bocil sedang merajuk," Radit masih lanjut meledekku.

"Apaan sih," kesalku, memilih pergi menuju ruang tengah untuk menonton televisi daripada mendengarkan kalimat menyebalkan yang keluar dari mulut Radit.

***

"Ayah pulang!"

Aku mengalihkan atensi dari layar televisi, melihat Ayah Radit berdiri dengan menenteng tas kerjanya.

"Eh! Ayah." Aku berjalan mendekat, menyalimi tangan Ayah setelah berdiri disebelahnya.

"Nara ada disini? nginep?" tanya Ayah Radit.

Aku mengangguk saja, tak ingin membahas alasan mengapa aku menginap disini. "Ayah disuruh langsung bersih-bersih, habis itu kita makan malam," ucap ku memberi tau. Tadi Bunda berpesan kepada ku.

"Iya. Kalau gitu Ayah mandi dulu."

Aku bergegas mematikan televisi kemudian melangkah menuju dapur, membantu Bunda menyiapkan meja makan.

Radit datang bersamaan dengan Ayah begitu makan malam telah siap. Keadaan makan malam saat ini cukup hening. Radit sedari tadi hanya diam menikmati makanannya. Aku juga tidak berniat berbicara, rasa kesal masih menyelimuti ku.

Setelah makan malam selesai aku langsung mengurung diri di kamar tamu yang biasa aku tempati ketika menginap. Bahkan beberapa bajuku masih tersimpan di lemari. Aku berencana untuk membaca komik online ditemani beberapa bungkus camilan. Pintu sudah ku kunci agar tidak ada yang tiba-tiba masuk dan mengusik ketenangan ku.

Ruang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang