11. Luka Kecil

3 2 0
                                    

Hai sahabat, apa kabar

Sebentar lagi menuju konflik nih, nggak berat-berat amat kok.

Selamat membaca

***

Entah kesialan darimana, beberapa saat lalu aku terdorong oleh seorang siswa yang tengah berlarian masuk kedalam sekolah, alhasil aku jatuh kedalam selokan didekat gerbang. Untung saja selokan itu kering. Tapi tetap saja rasanya sakit, aku berakhir mendapatkan luka baru dilutut padahal luka kemarin baru saja kering. Untung saja aku berpapasan dengan Soraya, sehingga aku dibantu berjalan. Lututku rasanya lemas seperti jeli.

Tadi pagi aku diantar oleh ayah Radit, sebab Radit menginap di apartemen milik temannya. Dan paginya langsung berangkat sekolah, tidak pulang terlebih dahulu.

"Pelan-pelan woy jalannya," pekik ku tertahan, sebab Soraya seperti menyeretku yang kesusahan berjalan, tidak tau apa kalau kakiku rasanya lemas. Ditambah lagi darah dari lukaku sudah mengalir mengotori kaos kaki.

Soraya menghela napas berat. "Nanti jadi lama nyampe UKS nya Nara."

"Tapi perih Sorayaaaa," ucapku memelas. Lututku benar-benar tidak bisa diajak bekerjasama.

"Nara kenapa?" Kenzo datang menghampiri, menatap bingung padaku yang tengah dipapah Soraya. Laki-laki itu memang rajin, selalu berangkat paling awal. Terbukti saat ini ia tidak sedang menggendong tas.

Mendapatkan sebuah ide, Soraya melebarkan senyumnya. "Kalau gitu, Kenzo tolong bawa Nara ke UKS ya. Sebagai ketua kelas yang baik hati, tampan dan rajin menabung harus membantu anggota kelasnya."

Sebelum mendapatkan protes dari si ketua kelas, Soraya sudah melepaskan lengan ku kemudian melenggang pergi begitu saja. "Bye, kunyuk! Gue ke kelas duluan."

Aku menatap kepergian Soraya dengan kesal. Lihat saja nanti, aku akan membalasnya.

Terdengar helaan napas dari Kenzo, membuatku menoleh padanya. "Minta tolong ya," ucapku memohon.

Tidak ada pilihan lain. Kenzo menempatkan diri, berjongkok didepan ku. "Ayo naik! Jangan protes, jalan lo lelet. Kelamaan."

Hei! Tidak usah diperjelas juga, aku sudah tau.

Sepanjang perjalanan menuju UKS, banyak siswa yang memperhatikan. Aku akui Kenzo memang memiliki pesona tersendiri. Dia cukup tampan, tapi tidak terlalu pintar. Begitu saja, Kenzo mampu memikat perempuan disekolah ini.

"Ini kamu nggak papa, gendong aku  kaya gini? Nanti dilihat gebetan kamu gimana?" aku sedikit berbisik ditelinga Kenzo.

"Tinggal jelasin aja," jawabnya santai.

"Kalau dia nggak percaya gimana?" Tanyaku, sebagai sesama perempuan aku paham, pasti akan ada overthinking walaupun sudah dijelaskan.

"Itu urusan dia, mau percaya atau nggak. Yang penting gue udah jelasin. Statusnya juga masih gebetan, belum ketahap pacaran."

Mendengar jawaban Kenzo, aku mengangguk saja. Tolong digaris bawahi, aku tidak mau dicap sebagai perusak hubungan.

"Turun Ra!"

Pandangan ku tertuju kedepan, ternyata kita sudah sampai di UKS. Aku langsung masuk kedalam begitu Kenzo membuka pintu.

Aku celingukan, UKS masih sepi. Sepertinya belum ada petugas yang berjaga.

"Petugasnya belum ada, biar gue yang ngobatin. Lo duduk aja di brankar," celetuk Kenzo.

Aku kira Kenzo akan meninggalkan ku sendiri. Walaupun sedikit sengklek, laki-laki itu lumayan perhatian juga.

Dengan sedikit tertatih aku berjalan mendekati brankar, mendudukkan diri disana sesuai perintah Kenzo. Menunggu laki-laki itu mencari kapas serta cairan alkohol.

****

"Jangan marah dong Ra, maafin gue ya? Kan gue nggak ninggalin lo gitu aja, gue udah nyuruh Kenzo. Maafin ya?"

Sudah sejak tadi aku mendiami Soraya. Namun, dia terus meminta maaf padaku, telingaku sampai jengah mendengar rengekannya. Itu adalah balasan untuknya. Salah siapa meninggalkan ku yang sedang kesusahan, dan malah melemparkan ku ke orang lain.

"Diem Soraya, kamu berisik. Aku jadi nggak fokus ngerjain tugas dari Bu Mara, nanti malah nggak selesai," tegasku tanpa menoleh kearahnya.

"Nggak mau, pokoknya maafin gue dulu!" Desak Soraya, dia bahkan mengguncang tubuhku dengan brutal.

Aku mengerang kesal. "Iya iya aku maafin. Lepasin tangan aku!" Dasar pemaksa.

"Hehehe, makasih Nara." Setelah mengucapkan itu, Soraya benar-benar terdiam dengan tenang mengerjakan tugasnya.

Getaran dari ponselku diatas meja mengalihkan perhatian ku. Aku meraih benda pipih itu. Ternyata ada pesan dari Radit. Untung saja Bu Mara langsung keluar kelas setelah memberikan tugas. Jadi aku bisa bebas memainkan ponsel, tanpa mendapat teguran. Yang penting nanti tugas selesai dikerjakan.

Nara, nanti lo pulang sendiri ya. Gue ada urusan.

Itu isi pesan yang disampaikan Radit. Aku mengernyit heran. Tumben sekali, memangnya urusan apa. Namun, aku hanya mengedikan bahu kemudian mengetik 'iya' sebagai balasan. Radit memiliki dunianya sendiri. Aku tidak pernah ikut campur dalam urusan pertemanan Radit. Teman-teman Radit saat ini saja aku tidak tau. Dia memiliki banyak teman, tipe manusia seorang sosial butterfly.

Lewat satu menit pesanku terkirim, Radit mengirimkan balasan.

Atau mau dianterin Linggar?

Aku hampir memekik keras, tapi ku urungkan. Bisa-bisa nanti aku dipelototi satu kelas.

Kenapa harus Linggar lagi sih. Sebenarnya sedekat apa pertemanan Radit dengan Linggar. Setauku mereka berdua baru dekat akhir-akhir ini. Laki-laki memang gampang sekali mendapatkan teman.

Terakhir aku bertemu dengan Linggar, beberapa minggu yang lalu. Saat aku terjebak hujan disekolah dan berakhir dengan Linggar yang membelikan ku beberapa novel. Akan seperti apa jadinya jika aku bertemu dengannya lagi.

Langsung saja aku menjawab 'aku sendiri aja'. Aku tidak mau terjebak dalam kecanggungan lagi. Itu adalah situasi yang membuat ku sesak.

Setelah itu, aku kembali meletakkan ponselku keatas meja. Sejenak melirik Soraya yang masih fokus pada bukunya. Mungkin Soraya merasa diperhatikan, dia menoleh padaku.

"Lo udah selesai?" Tanyanya.

"Belum."

Soraya menepuk-nepuk bukuku seraya berkata. "Cepet selesain, terus kita ke kantinnnnn." Dengan nada semangat.

Sahabat ku ini memang selalu bersemangat jika sudah menyangkut isi perut.

Bersambung....

****

Ruang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang