8. Rujak Curian

8 10 1
                                    

Saat ini aku dan Radit akan berkunjung ke rumah Janu, tapi aku menyebutnya si bolang. Sahabatku dan Radit saat kita bersekolah di SMP. Sebenarnya Janu adalah tetangga Radit. Namun, rumahnya pindah ketika Janu memasuki SMA. Kenapa aku menyebutnya si bolang? Tentu saja karena pada saat kecil dulu dia suka sekali berpetualang.

Ingat! Janu merupakan salah satu manusia menyebalkan yang lebih baik aku hindari.

"Kita kesana naik apa?" tanyaku. Mendongak menatap Radit. Uh! lama-lama leherku bisa patah. Kenapa sih aku selalu dikelilingi titan-titan. Padahal tinggi ku itu normal, tapi tampak seperti kurcaci saat aku bersebelahan dengan mereka.

"Naik motor, masa jalan kaki," jawab Radit. Ia berjalan menuju garasi untuk mengeluarkan motornya.

"Terus sepeda aku gimana?"

"Tinggal aja disini, nggak bakal ada yang maling. Sepeda butut begitu siapa yang mau," cibirnya.

"Heh! Biarpun butut begini, sepeda ku tahan banting. Udah diajak berpetualang kemana-mana sama si bolang," sewotku.

"Halah, cuma diajak ke sawah cari belut aja dibilang berpetualang."

"Nggak cuma cari belut ya. Kita juga cari kepiting sama keong sawah," jawabku tak mau kalah.

Radit menghembuskan napas. "Iya deh iya. Sekarang naik," titahnya.

Aku melotot, ini Radit serius? "Kok bawa motor yang nungging sih. Biasanya juga pake motor matic." Jangan salah, walaupun Radit selalu pakai motor matic. Sebenarnya dia juga punya motor gede yang nungging ini.

"Biar bisa pamer sama Janu. Ayo naik, gue bantu," ucap Radit.

Aku menurut, naik ke motor besar itu dengan memegang pundak dan tangan Radit. Aku menyamakan posisi dudukku lalu memegang kedua pundak Radit.

"Udah, ayo," ujarku. Namun Radit tak juga melajukan motornya.

"Pegangan, nanti lo jatuh kalau gue ngebut."

Aku mengernyit. "Ini udah pegangan kok."

Radit mendecak pelan. "Bukan disitu. Disini pegangan yang kencang." Radit memindahkan tanganku untuk melingkar diperutnya.

Pipiku rasanya panas. Kenapa Radit menyuruhku berpegangan seperti ini sih. Jantungku berdetak tak terkendali sampai aku takut Radit dapat mendengarnya.

"Siap?" tanyanya.

Aku berdeham pelan, tidak sanggup bersuara.

"Oke, berangkat."

Motor yang Radit kendarai melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan. Aku melirik ke arah spion yang memperlihatkan wajah Radit. Rasanya aku ingin berbisik dan mengatakan kalau dia itu sangat tampan, tapi aku tak punya nyali sebesar itu.

Perjalanan yang ditempuh menghabiskan waktu sedikit lama. Ditambah teriknya matahari yang menyengat kulit membuat ku ingin pingsan. Aku sudah tidak sanggup.

"Radit ini masih lama nggak?" tanyaku sedikit berteriak diantara bisingnya kendaraan.

"Sebentar lagi," balas Radit.

Aku menghela napas, berharap perkataan Radit benar adanya.

Terdengar samar tawa Radit. "Panas ya? tahan sebentar lagi. Nanti gue kasih es cendol."

Mendengar itu aku terdiam. Radit sedang menenangkan ku ya? Aku ikut tertawa, dan lagi dimana dia bisa mendapatkan es cendol, tapi aku tetap mengangguk.

Tak berapa lama motor Radit berhenti didepan sebuah rumah yang cukup mewah dengan gaya klasiknya. Walaupun si bolang suka mengajakku bermain ke sawah, orang tuanya merupakan orang berada. Anak itu memang agak lain.

Ruang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang