Hari ini aku pulang sendiri, karena Radit diminta Bunda untuk pulang cepat dan menemaninya berbelanja. Aku juga berniat ke toko buku untuk membeli novel. Setelah beberapa hari aku menghemat uang jajan, akhirnya aku dapat membeli satu novel baru. Harga novel itu sangat mahal jadi aku tak bisa sering-sering membelinya.
Aku baru saja selesai melaksanakan piket. Hendak melangkah pergi. Namun Bu Mara tiba-tiba memanggil ku. Pasti aku diminta membantunya melakukan sesuatu.
"Ada apa bu?" tanyaku begitu tiba dihadapan Bu Mara.
Bu Mara menunjuk tumpukan buku paket di mejanya. "Tolong bantuin ibu bawa buku ini ke perpustakaan."
"Ah! iya bu."
"Terima kasih ya. Ibu mau lanjut bikin laporan."
Bu Mara kembali duduk dan fokus ke laptop didepannya.
Aku menghela napas, lihatlah buku-buku tebal yang bertumpuk itu. Akan menghabiskan berapa lama untuk menyelesaikannya, dan lagi letak perpustakaan jauh dari ruang guru.
Ku bawa buku tebal itu menuju perpustakaan. Melelahkan sekali, aku harus bolak balik sebanyak tiga kali.
"Tumpukan buku terakhir, ayo semangat!" aku menyemangati diri sendiri.
Ketika aku keluar dari perpustakaan, langit tampak mendung. Siap menumpahkan rintik rintik hujan.
"Mendung banget."
Benar saja, hujan deras turun membasahi tanah. Aku tidak bisa pulang dalam keadaan hujan seperti ini. Bisa-bisa baju ku basah dan berakhir demam.
Aku memilih duduk di kursi koridor menunggu hujan agak reda. Ingin menelpon Radit meminta untuk dijemput, tapi takut akan menggangu. Mungkin saja dia sedang menemani Bunda. Ya tak ada pilihan lain. Aku termenung menatap tetesan hujan yang menyentuh tanah.
Merasa ada pergerakan di samping, reflek aku menoleh.
"Eh!"
"Hai!" Linggar menyapa seraya tersenyum.
"Gue boleh duduk?"
Aku mengangguk kaku. "I-iya boleh. Duduk aja."
Linggar duduk di sampingku. Setelah itu kita berdua sama-sama terdiam. Aku jadi tidak nyaman.
"Kamu kenapa belum pulang?" tanyaku basa-basi, mengusir kecanggungan.
"Baru selesai latihan basket. Kalau lo, kenapa belum pulang?" tanyanya dengan menatap tepat ke kedua mataku.
Aku memalingkan wajah. "Tadi habis piket terus bantuin bu Mara, hehehe." Aku merutuk dalam hati, tawaku kentara sangat canggung.
"Oh, Radit?"
"Hah?" Aku tidak mengerti maksud ucapan Linggar. Radit? memangnya kenapa.
"Maksud gue, lu nggak pulang sama Radit?" Linggar mengoreksi.
"Ooh. Radit katanya ada urusan, jadi harus pulang cepat," terangku.
Linggar mengangguk mengerti.
Setelah itu terjadi keheningan, hanya suara rintik hujan yang menjadi pengisi.
Waktu terus berlalu, akhirnya hujan sedikit reda, tapi masih cukup membuatku basah kuyup jika aku nekat menerobosnya.
Linggar lantas berdiri. "Hujannya udah agak reda. Ayo gue anterin pulang, kebetulan gue bawa mobil," ajak Linggar.
Aku menggeleng cepat. "Nggak usah, takut ngerepotin. Aku juga mau mampir ke toko buku dulu. Kamu pulang duluan aja," ku tolak secara halus. Lagi pula aku dan Linggar tak sedekat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Rasa
Подростковая литератураHampir semua orang pasti pernah mengalami love in silence atau mencintai dalam diam. Entah karena malu untuk mengungkapkannya atau malah untuk menjaga agar tak merusak segalanya. Ketika rasa itu terungkap, ada yang berakhir bahagia ada juga yang mer...