3. Perasaan Nara

18 13 0
                                    

Aku dan Radit sampai di sekolah tepat waktu, sebentar lagi akan dilaksanakan upacara bendera.

"Eh! Dit tolongin ini helmnya," pintaku.

Bukannya manja atau caper, tapi aku memang tidak bisa membuka helm milik Radit. Selalu saja macet saat dibuka. Mungkin yang caper itu helmnya.

"Gitu doang nggak bisa," Radit mencibir.

"Helm kamu yang nyebelin."

Radit melepaskan helmnya dari kepala ku kemudian diletakkan ke atas motor.

"Udah tuh, sana ke kelas. Sama lo dari tadi bikin gerah. Hus hus." Radit mengusir ku lalu melangkah pergi.

"Kutu kupret emang," makiku sedikit keras. Radit yang belum terlalu jauh, membalikkan badannya.

"Iya anak monyet, jangan kangen. Nanti ketemu lagi."

Aku ternganga. Dia budek atau gimana.

"Dadah! anak monyet." Radit melambai kepada ku.

Menyebalkan sekali mulut lemesnya itu. Aku berjalan pergi dengan sedikit menghentakkan kaki.

"Uy Nara!"

Soraya—teman sebangku ku menghampiri, sedikit berlari dari arah parkiran.

"Berangkat sama Radit lagi?" tanyanya begitu dia sampai disebelah ku.

"Kalau nggak sama dia siapa lagi?" Ucapku sewot.

Soraya mencibir. "Biasa aja dong! Makanya cari pacar biar bisa jemput sama nganterin."

"Itu pacar apa tukang ojek. Lagian kamu juga jomblo, mending kamu aja yang cari pacar dari pada ngurusin hidup orang."

Cubitan di lengan, Soraya layangkan padaku.

"Aw! sakit anjir." Panas menjalar pada lengan bekas cubitan tadi. Tidak main-main memang cubitan maut Soraya.

"Dasar friendzone."

Aku melotot tak terima. "Bacot kamu."

"Dibil-"

"Hoy! kalian berdua." Ucapan Soraya terhenti oleh suara Pak Bonar—sebut saja begitu karena kepalanya botak dan bersinar. Beliau seorang guru kedisiplinan.

"Anjir kenapa Pak Bonar tiba-tiba disitu," gerutu Soraya.

"Cepetan ke lapangan! upacara sebentar lagi dimulai."

"Ah! iya siap komandan," ucap Soraya kemudian berlari meninggalkanku bersama Pak Bonar.

"Kamu juga! ngapain bengong disitu."

"Iya Pak, iya."

***

"Benci banget gue sama hari Senin." Soraya terus menggerutu setelah Bu Sisi keluar dari kelas. Beliau ini suka sekali korupsi waktu. Padahal sudah jamnya istirahat, tapi Bu Sisi masih terus melanjutkan pembelajaran. Menghabiskan sepuluh menit waktu istirahat.

"Sisa lima menit lagi buat istirahat. Korupsi terlama sih ini parah. Mana bisa ke kantin anjir. Laper banget lagi." Soraya merebahkan kepalanya ke meja, menghadap miring ke arahku.

"Naraaaa laper," rengeknya.

"Naraaaa."

"Ra! Nara!"

Aku mendecak sebal.

"Berisik banget kamu. Bukan cuma kamu aja yang laper," kesalku.

Soraya memanyunkan bibirnya. "Sebal."

"Tenang saja kawan-kawan ku. Nanti Pak Juna nggak masuk. Lagi sakit katanya, tapi tetap ada tugas," ungkap Kenzo.

Semangat Soraya seketika kembali. Ia langsung menegakkan badannya. "Yang bener Pak Ketu. Asik!bisa melipir ke kantin."

Ruang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang