~ Diary Azzam ~ Chapter 005.

136 29 48
                                    

"Hidup selayaknya orang normal adalah salah satu cara gue mempertahankan semangat hidup. Disaat semua orang menganggap gue seolah manusia yang paling lemah. Mengapa mereka tidak mengerti?"
...

Happy Reading.
.
.
.

Tatapan tajam dari salah satu sahabat Azzam, mengarah kepada sang empu yang kini telah berganti kaos olahraga sama seperti ketiga sahabatnya. Rayan sedang menahan rasa emosinya karena Azzam selalu saja bebal jika dinasihati.

Sudah berulang kali ia memberitahu Azzam agar tidak ikut Mata Pelajaran Olahraga. Namun, dia tidak pernah mau mendengarkan perkataannya. Fisik anak itu berbeda dengan orang normal pada umumnya. Azzam itu mudah lelah. Rayan hanya tidak ingin penyakit dia bertambah parah.

"Udah berapa kali gue bilang? Nggak usah ikut olahraga!"

Azzam memutar bola matanya malas, dia menyadari bahwa kekuatan fisiknya memang berbeda dengan anak normal seperti halnya ketiga sahabatnya. Tapi, bukan berarti dia tidak bisa bebas melakukan hal untuk dilakukan oleh orang normal.

"Hari ini emang jadwal kelas kita olahraga, Kan? Jadi, apa gue salah kalau ganti kaos olahraga?" jawab Azzam dengan santai.

Mendengar jawaban Azzam yang kelewat santai, membuat emosi Rayan semakin memuncak. Azzam itu, selalu saja menyepelekan kesehatan fisiknya.Tinggal menurut saja, apa susahnya sih?

"Lo itu harusnya sadar! kekuatan fisik lo tuh lemah! lo beda kaya kita yang punya fisik normal, Azzam!" bentak Rayan.

Azzam terkekeh sinis mendengar ucapan yang baru saja dilontarkan oleh Rayan. Lagi-lagi tentang kekuatan fisiknya. Mengapa semua orang selalu menganggap dirinya itu seolah manusia paling lemah dan tidak bisa melakukan apa-apa? Azzam sudah muak dengan semua itu.

Sedangkan Tara dan Bintang tersentak mendengar ucapan dari Rayan. Mereka tau Rayan mengkhawatirkan kesehatan Azzam. Tapi, bukan berarti dia harus mengeluarkan kata-kata yang dapat menyakiti hati Azzam.

"Udahlah Ray, biarin aja si Azzam ikut olahraga. Kalau dia ngerasa capek, pasti dia tau apa yang harus dia lakukan" ucap Tara berusaha meyakinkan Rayan.

"Hm, apa yang dibilang Tara bener" tambah Bintang.

"Lo berdua belain Azzam? Fine! Silahkan, lakuin aja apa yang lo mau" Rayan berjalan menjauh meninggalkan ketiga sahabatnya.

Azzam menatap datar punggung milik Rayan yang semakin menjauh, dia menghela napas pelan. Dia tau Rayan khawatir dengannya, tetapi dia juga ingin dapat merasakan layaknya seperti orang normal. Hanya dengan cara seperti itu, yang dapat membuat Azzam mempunyai semangat untuk hidup.

"Omongan Rayan yang tadi nggak usah dimasukin ke hati ya, Zam" ucap Tara.

"Santai aja, udah biasa" balas Azzam tersenyum kecil.

©
©
©

Seluruh siswa kelas XI IPA 3 sudah berkumpul di lapangan olahraga. Materi hari ini adalah lari jarak pendek. Untuk hari ini hanya latihan saja, tidak untuk diambil nilainya.

Sebelum mereka melakukan lari jarak pendek, Pak Zaki selalu guru pengampu, meminta mereka untuk pemanasan terlebih dahulu bertujuan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, cidera saat sedang berlari.

"Baiklah anak-anak, materi kali ini adalah lari jarak pendek. Bapak minta kalian berlatih lari dengan jarak 200 meter."

Mendengar ucapan dari Pak Zaki, Azzam sedikit ragu. Dia sedang berpikir apa nanti dia bisa melakukan lari dengan jarak 200 meter itu. Jika dia izin untuk tidak ikut berlari, dia takut teman-temannya yang lain akan mengejeknya lemah.

Azzam memang menyembunyikan penyakitnya dari semua guru dan teman kelasnya. Dia tidak ingin mereka tau, bahwa Azzam mempunyai kecacatan dalam kekuatan fisik yang dia miliki. 'Gue bisa nggak ya?' tanyanya dalam hati.

"Lo yakin bakal ikut lari, Zam?" tanya Bintang ragu.

"Gue ikut" balas Azzam dengan tenang.

"Jangan dipaksa kalau lo nggak kuat! lo itu kenapa seneng banget nyiksa diri lo sendiri?"

"Omongan lo bisa dijaga nggak sih, Ray? Gue tau lo khawatir. Tapi, nggak usah ngehakimi Azzam gitu aja. Dia juga butuh merasakan jadi selayaknya orang normal!" ucap Tara membalas perkataan Rayan.

"Udah-udah! kenapa kalian malah berantem?" lerai Azzam.

Ketiga sahabat Azzam membungkam mulutnya. Azzam menghela nafas lelah, Rayan memang tidak pernah berubah.

"Kalian sudah siap untuk berlari?"

"Siap, Pak!" jawab mereka serempak

"Silahkan, ambil posisi!" perintah Pak Zaki.

Semua siswa kelas XI IPA 3 memposisikan diri mereka di garis start, begitu pula dengan Azzam, Bintang, Rayan dan Tara.

"Oke, ikuti aba-aba dari Saya ya. Kalian sudah paham, Kan?"

"Paham, Pak. Kapan mau dimulai?, pegel nih kaki!" ucap Varo.

"Ekhem! Mari kita mulai"

"Bersedia..."

Semua siswa bersiap menempatkan kedua kakinya menyentuh blok yang sudah dipersiapkan depan dan belakang, lutut kaki belakang diletakkan di tanah, sejajar dengan kaki kiri, terpisah selebar bahu. Jari-jari tangan membentuk huruf V terbalik dan berada di belakang garis start kemudian posisi kepala dalam keadaan datar dengan punggung, sedangkan mata harus menatap lurus ke bawah.

"Siap..."

Posisi badan semua siswa sudah mulai berubah, tubuh mulai sedikit condong ke depan, angkat pinggang sedikit lebih tinggi dari bahu, karena posisi condong bahu agak maju ke depan dari kedua tangan.
Kemudian lutut ditekan ke belakang, lutut kaki depan ada dalam posisi membentuk sudut siku-siku 90°, sedangkan kaki belakang pelari membentuk 120° - 140°.

"Yak!"

Kedua tangan diangkat dari tanah kemudian mengayun seirama dengan gerak lari. Kaki belakang mulai mendorong lebih kuat, kaki depan mendorong sedikit demi sedikit, namun dengan segera kaki belakang diayunkan ke depan dengan cepat sedangkan kondisi badan condong ke depan, posisi lutut dan pinggang diluruskan penuh, seperti membentuk sudut 45° terhadap tanah pada saat akhir dorongan.

Setelah Pak Zaki memberikan aba-aba 'Yak!' semua siswa kelas XI IPA 3 langsung mulai berlari di lintasan sepanjang 200 meter yang berada di lapangan olahraga tersebut.

Azzam sedikit tertinggal oleh ketiga sahabatnya. Dia sengaja tidak terlalu cepat berlari, dia ingin menguji apakah badannya baik-baik saja atau tidak. Dan ternyata dia mampu jika hanya berlari. Bibirnya tersenyum tipis, dia bisa melakukannya.

Karena dirasa tidak terjadi apa-apa, Azzam mulai mempercepat larinya mengejar ketiga sahabatnya yang sudah berada di depan agak jauh darinya. Saat sudah mendekat, Azzam merasakan otot dadanya melemah, dia mulai kesulitan untuk mengambil napas.

Tangan kanannya meremat kuat dadanya, untuk meredam rasa sakit yang semakin menjadi. Dadanya sangat sakit seperti dihantam ribuan batu besar. Azzam mencoba mempertahankan kesadarannya, namun dia sudah tidak lagi dapat menahan rasa sakit di dadanya.

BRUK!

Tubuh Azzam jatuh menghantam lapangan olahraga. Disaat bersamaan, perasaan Rayan berubah menjadi tidak enak. Remaja itu menghentikan larinya. Hal itu membuat Bintang dan Tara juga ikut menghentikan larinya.

"Kenapa berhenti, Ray?" tanya Bintang dengan raut wajah bingung.

"Dimana Azzam?"

"Di bela ---"

Ketiga sahabat Azzam membalikkan badannya ke belakang. Pemandangan pertama yang mereka lihat adalah, tubuh Azzam yang sudah jatuh terlentang di lapangan olahraga.

"Azzam!" teriak mereka sambil berlari menuju ke arah Azzam.
.
.
.

Bersambung...

Tunggu chapter selanjutnya~

Semangat dan jangan lupa bahagia!!!👋🏻💕

Bye.

Diary AzzamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang