~Diary Azzam~ Chapter 002.

154 36 87
                                    

"Mengapa harus aku Tuhan? Aku tidak sekuat itu"

...

Happy Reading.


.
.

Sepulang dari perpustakaan kota, sudah 30 menit Azzam berdiri di depan pintu rumahnya. Entah mengapa seperti ada yang menahannya untuk tidak membuka pintu tersebut.

Setelah berdebat dengan hati dan pikirannya, akhirnya dengan perlahan tangan kanan milik Azzam bergerak membuka pelan pintu rumah. Saat pintu telah terbuka lebar, dapat dia lihat kedua orang tuanya sedang duduk di sofa ruang tamu.

Mendengar suara pintu terbuka, tangan Fardan berhenti mengetik. Pria itu memindahkan laptop yang semula berada di pangkuannya ke atas meja. Pandangannya beralih menatap ke arah Azzam, pria itu menatap anak bungsunya dengan tajam.

Fardan beranjak dari duduknya lalu berjalan ke arah Azzam dengan emosi yang sudah di ubun-ubun, siap meledak kapan saja jika ada seseorang yang memancingnya. Melihat sang suami berjalan ke arah Azzam, Ammara ikut beranjak dari duduknya lalu menyusul Fardan yang kini sudah berdiri di hadapan Azzam. Wanita itu berdiri di samping suaminya, bersiap melihat apa yang akan dilakukan oleh sang suami kepada Azzam.

"Dari mana saja kamu?! Jika kenapa- napa, siapa yang repot?" tanya Fardan dengan nada emosi.

Pertanyaan itu seperti perhatian yang diberikan oleh Fardan untuk Azzam.Tapi tidak dengan realitanya, pria itu hanya tidak ingin nantinya Azzam merepotkan ia dan istrinya jika penyakit remaja itu kambuh.

Azzam yang mendengar ucapan dari ayahnya memasang raut wajah datar. Mengapa ayahnya peduli dia dari mana? Bukahkah beliau sudah tidak mau berurusan dengan hal yang berkaitan dengan dirinya?

Perkara jika penyakitnya sedang kambuh, Kedua orang tuanya juga tidak akan memasang raut wajah khawatir layaknya orang tua di luaran sana yang akan khawatir jika penyakit anaknya sedang kambuh.

Azzam sudah terbiasa dengan sikap acuh keluarganya. Memang dulu, dia masih berusaha mencari kasih sayang yang mungkin masih tersisa untuknya. Namun, semakin dia mencarinya, ternyata rasa kasih sayang itu sudah lama hilang saat Ammara, mamanya menyerahkan Azzam kecil ke Liana untuk merawat anak itu, sampai dia sudah menganggap Liana, seperti pengganti sosok seorang ibu baginya. Bahkan Azzam memanggil Liana dengan sebutan "Bunda".

Bisa dibayangkan sudah sedekat apa Azzam dengan pengasuhnya itu. Meski demikian, Azzam masih menghormati Ammara sebagai ibu kandungnya. Bagaimana pun sikap beliau kepadanya, Ammara tetaplah seorang ibu yang sudah bertaruh nyawa untuk dapat melahirkan dia ke dunia ini.

Melihat anak bungsunya yang masih enggan mengucapkan sepatah kata, emosi di dalam diri Fardan semakin meluap. Kedua tangan pria itu mengepal kuat di samping tubuhnya, ia mencoba meredam emosinya.

"Jika ada yang bertanya itu dijawab! Apa penyakit sialan itu sampai membuat mulut mu mendadak menjadi bisu, Hah?" ucap Fardan penuh penekanan.

Azzam masih enggan membuka mulutnya, dalam hati dia sedang menahan amarah di dalam dirinya. Dia tidak mau nantinya ucapan yang akan keluar dari mulutnya malah menambah keadaan menjadi semakin panas.

Azzam tetaplah Azzam, walaupun ada orang lain yang menyakiti hatinya melalui setiap kata dari mulut orang itu, dia tidak mau membalasnya. Apalagi yang sedang berbicara kepadanya saat ini adalah Fardan, ayah kandungnya.

"Ternyata, selain penyakitan, sekarang kamu juga bisu ya?" ucapan itu terlontar dari mulut Ammara, mama kandungnya sendiri.

Azzam masih bisa menahan amarahnya saat mendengar ucapan dari ayahnya.Tetapi, saat mendengar ucapan dari mamanya, ibu kandung yang telah melahirkannya, hati Azzam seperti di hantam benda keras dan tajam, sakit dan sesak sekali.

Diary AzzamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang