Sania 1

30.1K 265 1
                                    

“Sania, papanya Liby pesen kue, nih! Tolong anterin dulu ke rumahnya, ya!” seru Mila, mamanya Sania.

Kedua tangannya tampak sibuk membalas beberapa pesan singkat yang masuk ke aplikasi berbagi pesan singkat yang terpasang di ponsel, sembari mencatat kembali semua pesanan kue buatannya.

Saking sibuknya, meja di tengah rumah yang terlihat berantakan tidak dihiraukan, dus-dus kemasan serta bahan-bahan kue yang baru saja dibeli pun belum sempat dirapikan.

Mila lebih memusatkan perhatiannya ke layar ponsel dan kertas di atas meja.

Bisnis kue rumahan Mila sudah beroperasi kurang lebih satu tahun lamanya, tepatnya pasca papanya Sania, meninggal dunia. Wanita itu harus memutar otak agar dapurnya tetap ngebul.

Dari minggu kemarin, pesanan yang masuk ke aplikasi berbagi pesan singkat makin banyak. Mila makin keteteran melayani pemesan plus membuat sendiri kue buatannya.

Dan salah satu pelanggan tetapnya adalah Frans, papa dari teman anaknya. Wanita itu selalu memprioritaskan Frans karena selalu membayar lebih.

'Mama Mila Cake official' mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari waktu ke waktu.

Mungkin, karena promosi di media sosial mereka berhasil membangun kepercayaan yang tinggi, ditambah dengan kuatnya gaung yang menggema dari obrolan rumpi para tetangga sekitar, tentang enak dan murahnya kue buatan Mila.

Hal itu membuat Sania selalu dilibatkan dalam proses produksi, serta jasa antar yang memiliki radius 2-3 km, lebih dari itu  Mila menggunakan jasa ekspedisi dan kurir on-line.

Sejak awal merintis usaha kue rumahan, Sania memang sudah dilantik, secara tidak resmi, menjadi kurir dadakan jika ada pesanan di sekitar area komplek rumah. 

Hari ini, kebetulan pesanan datang dari  Frans, ayahnya Liby.  Mila merasa harus mendahulukan pesanan pria itu.

Sania dan Liby sudah bersahabat dekat sejak mereka masih duduk di bangku SMP hingga  kelas 3 SMA seperti sekarang. Dari dulu mereka sering saling berkunjung,  Mila pun mengenal Liby sebagai anak yang baik dan periang.

Dan ketika menerima pesanan dari  Frans,  Mila sontak berteriak kencang ke arah Sania. Walaupun jarak rumah Liby lebih dari radius 3 km.  Mila tahu, Sania tidak akan merasa keberatan untuk mengantarkan pesanan kue tersebut.

Sekalian sambil main, pikir Mila. Sudah lama juga Sania tidak bertemu Liby, tepatnya sejak tiga minggu yang  lalu.

“San, kamu denger Mama manggil nggak? Cepetan anterin dulu kuenya!”  Mila kembali berteriak dari dekat tangga lantai bawah.

“Ya, Ma! Aku datang, bentar aku ambil jaket dulu,” sahut Sania cepat.

Sebelum mendekati mamanya, kedua tangan Sania bergerak cepat merapikan rambut sebahu, mengikat ke belakang, sampai benar-benar terlihat rapi dan membuatnya semakin cantik.

“Udah ready kuenya?” tanya Sania mengambil kunci motor. Mila menanggapinya dengan anggukan cepat.

“Udah, kebetulan banget, stok kue yang di pesan Om Frans udah ada, kue pesanannya, ‘kan bukan jenis kue yang harus 'fresh from the oven', jadi aman. Stoknya pun baru tadi malam Mama bikin. Kamu antar sekarang, ya?” pinta Mila tak mau menerima penolakan dari putrinya.

“Boleh deh. Kalo gitu Sania packing dulu, ya, Ma,” sahut Sania.

Gadis bercelana jeans selutut dan robek itu berjalan menuju ke tempat penyimpanan stok kue yang sudah ready order, dan mengambil jenis kue yang dipesan Om Frans. ‘Sagu keju’ adalah kue favoritnya, tak pernah berubah sejak  setahun yang lalu.

Setelah kemasan kue siap antar, Sania pamit dan menyalami mamanya sebelum  berjalan menuju ke arah garasi.

Beberapa menit kemudian, motor matic yang dikendarai Sania sudah tampak melaju pelan, menikmati suasana jalanan komplek yang diselimuti udara segar dan hijaunya deretan pepohonan di pinggir-pinggir jalan.

Lari dari Obsesi Om FransTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang