Sania 4

18.6K 114 1
                                    

"Masuk!" ujar Frans kasar.

Blam!!

Frans membanting pintu mobil. Pria itu marah pasca Sania mengobrol dengan pria lain. Sampai-sampai dia menariknya  keluar dari klub remang-remang tersebut.

“Apa kamu tidak tahu kalau mengobrol dengan pria asing, sementara Om yang mengajak kamu ke tempat itu, itu tidak dibenarkan, hah?”

“Maaf, Om. Sania nggak tahu itu. Lagian dia sendiri yang datang dan ngajak Sania pergi,” bohongnya untuk menyelamatkan diri. Bodo amat sama pria itu, toh dia tidak akan bertemu lagi, pikirnya.

“Dan kamu suka menanggapinya juga, begitu?”

“Ng-nggak gitu, Om. Aku—”

Sebelum Sania meneruskan ucapannya, rahangnya sudah ditarik oleh pria itu hingga tatapan mata keduanya beradu.

Selain kabut gairah, Sania jelas melihat tatapan kemarahan dan senyum sinis di mata pria yang terlihat memerah tersebut. Bahkan saking ketakutannya, Sania sampai gemetar dan rasa-rasanya dia ingin pingsan saat itu juga.

“Jangan membantah kalau Om sedang ngomong.” Frans melepaskan tangannya.

Dia memutar anak kunci untuk melajukan mobilnya kembali ke rumah miliknya.

Sania tidak langsung diantar pulang, bingung,  apakah harus menuruti pria itu masuk ke dalam rumah yang seperti neraka untuknya, atau memilih pulang dengan cara lain, lalu mencari alasan pada Mila kalau dirinya tidak jadi menginap.

“Tunggu apa lagi, ayo masuk ke dalam. Bukankah kamu harus dihukum karena bicara dengan pria lain?”

Sania manut. Dia meremas tali tas selempang miliknya untuk kemudian mengikuti  dari arah belakang. Sania takut Frans  akan kembali marah padanya.

Sania tak tahu apa yang akan dilakukan oleh pria itu kedepannya nanti, hanya saja Sania berharap kalau Frans tidak melakukan hal mesum padanya.

Karena jujur, meski dia kebelet dan haus akan belaian, tapi melakukannya dengan pria dewasa yang bukan suaminya, sontak hati kecilnya menolak mentah-mentah.

“Masuk!”

Suara bariton milik Frans memaksa Sania masuk ke dalam rumah. Gadis yang  sudah gemetar  sejak tadi itu menyeret kakinya yang terasa berat.

Frans membuka pintu kamar. Dengan gerakan kepala, dia menyuruh Sania masuk ke dalam kamar tamu.

Sania yang awalnya merasa lega, menurut kendati dadanya berdebar kencang saat Frans tak jua beranjak dari lawang pintu.

Sania terpaksa harus melewatinya. Dadanya berdesir hebat menghidu aroma parfum maskulin yang menguar dari badan Frans yang gagah, akibat olahan gym yang rutin dia datangi.

“Om, mau ngapain?” tanya Sania terbata saat pria itu ikut  masuk ke dalam setelah menutup pintu dan menguncinya.

“Bukankah kamu harus mendapatkan hukuman?” Frans bicara sambil membuka kemeja yang melapisi kaos polos miliknya. “Sekarang naik ke tempat tidur!” tunjuk Frans dengan dagunya ke arah ranjang putih.

Alih-alih menuruti ucapannya, Sania memilih bersimpuh dan menunduk. Dia menangis dalam-dalam karena ketakutan.

Sumpah bukan ini yang dia inginkan. Dia juga tak tahu kenapa mesti berurusan lebih jauh dengan Frans. Satu hal yang dia sadari, entah  apa yang akan dilakukan oleh Frans beberapa saat lagi padanya dengan memintanya  berbaring di atas tempat tidur itu.

“Kenapa kamu malah bersimpuh?“

Frans yang belum melepas celana jeans miliknya ikut berjongkok. Dia mengangkat dagu gadis itu yang matanya sudah berkaca-kaca.

“Jangan lakuin itu ke aku, Om. Aku belum siap ternoda dan hamil. Aku mohon,” pintanya sambil menangkupkan tangan.

Bahunya gemetar seiring dengan isak tangisnya yang makin menjadi.

Frans yang awalnya kesal akibat perbuatan gadis itu, menyunggingkan senyum tipis.

“Memangnya kamu pikir Om akan melakukan apa?’’ tanya Frans. Dia memindai baju ketat yang dikenakan oleh Sania, hingga buah dadanya yang tipis dan belum tumbuh sempurna cukup terlihat menarik. Frans juga membayangkan menyentuh dan memasukkan dada kenyal itu ke dalam mulut. Pasti akan manis, pikirnya.

“Om mau ngelakuin itu ke aku, sama seperti yang Om lakukan pada cewek-cewek itu, ‘kan?” Mata Sania penuh tanda tanya. Gadis itu memberanikan diri dengan mendongak.

Frans menggeleng pelan. “Om belum akan melakukannya.  Sekarang kamu berbaring di tempat tidur dan jangan berisik kecuali mendesah,” titahnya penuh maksud. Dibelainya rambut Sania setelah Frans membantunya berdiri.

“Apa maksudnya, Om? Om nggak berniat bikin aku—”

“Ssttt, Om udah bilang agar kamu jangan berisik. Jadi, diem dan turuti saja sebelum Mila mengetahui semuanya. Oke?”

“Om.”

Bibir Sania  mengatup. Takut melihat tatapan keji tersebut. Dia pasrah dan duduk di tempat tidur. Memperhatikan gerakan Frans yang satu persatu melucuti pakaian bawahnya.

Pria itu hanya menyisakan celana dalam dengan tonjolan besar di dalamnya, yang terdapat setitik cairan membasahi CD warna abu tersebut.

“Tetap buka mata dan jangan merem. Seperti saat kamu menonton film biru. Kamu ngerti, ‘kan?” Sania mengangguk tanpa sadar. ‘Bagaimana Om Frans tahu kalau aku pernah menonton film itu,’ batinnya berkecamuk.

“Dan ya, jangan tutupi dadamu  dengan bantal. Pastikan tanganmu berada di samping,” terang Frans mengarahkan.

Dia tersenyum simpul melihat Sania yang menuruti ucapannya. Gadis patuh itu berusaha tenang saat Frans mulai meraba jagoan andalan miliknya dan mengeluarkannya dengan gerakan lambat.

Sania yang melihatnya secara live, tanpa sadar menganga dengan debaran lebih kencang.

Glek …!

“Sania, lihat  dan perhatikan Om.”

Sania yang mengerjapkan mata kena teguran pria itu. Frans memamerkan jagoan andalannya membuat Sania kelabakan dan menggigil.

Bagaimana tidak, darahnya berdesir, otaknya tidak sinkron, ditambah bagian bawah sudah berkedut dan basah entah sejak berada di klub tadi, sementara buah dadanya mengeras dan ujungnya kian runcing.  Sania juga merasa ukuran dadanya perlahan membesar.

Sania gelisah saat tak mampu lagi menutupi gairahnya yang tak tertahankan.

“Kamu suka dengan jagoan Om?” Frans bertanya dengan penuh gairah. Pria itu menjilat bibirnya sendiri. Nafsunya memuncak melihat cara duduk Sania yang gelisah, sampai-sampai gadis itu harus merapatkan pahanya.

“I-iya, Om.”

Jarak keduanya masih beberapa meter, dan Sania harus mengakui betapa besarnya jagoan milik Frans. Dia tidak dapat membayangkan seandainya lembah surga miliknya dimasuki oleh batang besar berwarna pink penuh urat tersebut.

“Emh, shhh,” desah Sania menutup mata, membayangkan adegan vulgar bersama Frans dimana dirinya yang menjadi pemeran utama.

“Kamu mau?” tanya Frans lagi menggoda.

Sania mengangguk dan menggeleng disaat bersamaan. Entahlah, dia mau tapi ragu. Denyut di bagian bawahnya seakan ingin dihukum nikmat, tapi sisi lain hatinya mengatakan kalau dia harus menahannya sebentar lagi.

Ya, sebentar lagi.

Lari dari Obsesi Om FransTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang