Sania 7

15.7K 77 1
                                    

“Om!” Sania memekik. Dia berteriak jengkel sekaligus tak berdaya.

“Hem, Om hanya bercanda. Baru dibohongi seperti itu saja kamu sudah nangis. Gimana kalau itu beneran?”

Melihat gadis itu frustasi, Frans ikut terkekeh.

“Maksud Om?” Sania bertanya dengan suara terisak.

“Inginnya sih begitu. Tapi Om nggak bisa lakuin kalau kamunya tidur. Jadi, Om akan melakukannya lain kali. Tapi kamu tenang aja, sampai saat ini Om bisa pastikan kalau kamu masih belum Om masuki,” jawabnya santai tapi mampu membuat Sania naik darah.

Sania menegakkan kepalanya. Dia sudah tidak peduli pada dadanya yang kecil tapi dipandang penuh nafsu oleh pria seumuran mamanya.

“Dasar pria mesum. Kenapa Om tega sama aku. Kenapa, Om? Kenapa Om nggak cari aja perempuan lain yang bersedia Om gagahi. Kenapa harus aku, hah? Kenapa?”

Sania terluka. Dia merasa  seperti seorang pelacur yang tidak memiliki harga diri karena sudah digerayangi oleh pria itu.

Frans beranjak. Sania berpaling muka melihat pemandangan tak senonoh di depannya. Bisa-bisanya Frans berdiri tanpa risih sama sekali.

“Bersihkan dirimu, Om akan membuat sarapan.”

Frans tak peduli dengan air mata gadis itu. Baginya kepuasan syahwat adalah segalanya. Lagipula dia memiliki alasan tersendiri memilih gadis itu sebagai mangsanya.

“Aku benci sama, Om! Aku tidak akan pernah memaafkan apa yang terjadi dan akan melaporkannya pada polisi! Om lihat saja nanti!’’ Sania berteriak. Dia berlari ke arah pintu, namun Frans berhasil menarik tangan dan mencegahnya.

"Apa kamu sudah bosan hidup? Atau kamu ingin melihat mamamu menderita? Lakukan kalau itu yang kamu mau!"

Frans menatap penuh padanya. Pria itu mendekatkan jagoannya yang sudah berdiri tegak. Frans tersenyum smirk  saat wajah  Sania bersemu merah. Antara marah dan malu.

Sania buru-buru berpaling melihat pemandangan tak wajar tersebut. Entah kegilaan macam apa yang sedang ditunjukkan oleh Frans sejak ketahuan  tengah melakukan hubungan dengan dua wanita tersebut,  hingga Sania merasa dunianya runtuh dan berganti dengan kegelapan, atas tingkah dan sepak terjang pria itu yang seperti ingin membuatnya jadi wanita yang sama. Murahan!

“Jangan bilang kalau kamu mulai  berani sama Om? Jawab, Sania!” bentaknya.

“Ng-nggak gitu, Om. Sania ….”

Frans mendekat. Dia  membelai rahang gadis itu. Sania gemetar. Dia mati-matian menahan rasa takutnya. Dibentak sedikit saja dia langsung ciut. Tangannya mengepal kuat,  tapi wanita kelas 3 SMA itu bisa apa, selain pasrah atas perlakuan  gila Frans.

Dari belakang, pria itu melingkarkan tangannya di perutnya.

“Om mau apa?!” tanyanya terbata.

“Tentu saja Om mau kamu.”

“Bukankah Om sudah berjanji tidak akan menyentuhku, sebelum aku memintanya sendiri?”

Sania mengundur waktu. Sumpah bukan intimidasi seperti ini yang diinginkannya. Frans terlihat mengerikan meski tanpa bentakan atau cara yang kasar. Tapi pendekatan pria itu sudah sangat mengancamnya.

“Jangan, Om. Please.”

“Hmm, kenapa? Bukankah kamu juga ingin merasakan sentuhan dari Om?”

Frans menarik tangannya. “Jangan berlagak pintar kamu. Buka mulut sedikit saja, Mamamu taruhannya."

Deg. Sania terpaku. Tidak, Mila tak boleh tahu apapun yang dia lakukan bersama pria sialan itu.

"Dan ya, kalau kamu butuh sentuhan dan belaian, jangan sungkan-sungkan untuk bicara sama Om.” Frans lalu menjauh sebelum menggila.

‘’Oh ya, Sania, aksimu semalam cukup membuat Om penasaran atas bagian dari dirimu yang lain. Tapi Om akan sabar sampai saat itu datang. Dan Om akan pastikan  kalau dalam waktu tak lama lagi, kamu akan memohon untuk Om gagahi.”

Cup. Frans mencium pucuk kepala gadis itu dari belakang, sambil meremas dadanya dan mendorongnya pelan. Kemudian  kembali ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Frans masuk ke dalam kamar mandi. Dia menatap pantulan dirinya lewat cermin di wastafel. Sebuah senyum smirk muncul di bibirnya yang tipis dan berwarna pink alami.

‘Shit, kenapa dia masih sok jual mahal? Padahal aku tahu dia menginginkannya juga.’ Frans membatin.

Sepeninggal Frans, Sania berjalan ke arah cermin. Meraba bagian tubuhnya sendiri yang terasa nyeri. Beberapa tanda merah tercetak jelas di leher dan buah dadanya.

Dia marah dan sakit hati. Tak percaya atas kelakuan  pria itu, yang mengambil keuntungan saat ia tengah tidur. Di sisi lain, Sania  juga mengutuk keras  atas ketidakberdayaannya, karena tak bisa melawan nafsunya sendiri semalam.

Membersihkan diri dan berlama-lama di dalam tempat di kamar mandi, bayangan mama dan adiknya menari-nari di kepala Sania.  Tangisnya luruh.  Dia frustasi atas ketidakberdayaannya. Sania juga menjambak rambutnya beberapa kali, tak tahu harus melakukannya apalagi untuk membebaskan dirinya dari cengkraman pria itu.

Entah kenapa Sania yakin, setelah ini Frans pasti tidak akan  melepaskan dirinya, apalagi setelah dengan kurang ajarnya dia  berani menggerayanginya.

Sania keluar dari kamar mandi dengan handuk selutut. Dia melihat tempat tidur yang acak-acakan. Tak tahan, bibir kecilnya kembali mengutuk perbuatan Frans padanya.

Sania berjalan cepat mencari pakaian. Namun nihil, benda itu tidak dia temukan. Di dalam lemari pun tidak ada pakaian yang dicarinya. Tempat itu kosong.

Sania kembali panik. Dia mencari kesana kemari seperti orang kesetanan. Lalu pikirannya menjurus pada Frans. Semua itu pasti ulahnya, ya Sania yakin itu.

“Di mana bajuku? Oh Tuhan, apalagi yang si mesum itu lakukan? Dan kenapa dia mengambil pakaianku?” jerit gadis itu.

Dia berteriak dan terpaksa keluar dari dalam kamar. Dia berjalan ke arah kamar Frans tapi tak menemukan pria itu di sana.

Hanya pakaian kotor yang teronggok di lantai, juga tisu bekas percintaannya semalam dengan pelacur itu. Tempat tidurnya  pun masih terlihat rapi.

Sania tersenyum sinis. Tentu saja tempat itu tak akan pernah berantakan, mengingat semalam Frans  masuk ke dalam kamarnya dan melakukan tindakan cabul.

Mencium aroma masakan disusul suara sutil yang beradu dengan wajan, Sania berjalan ke arah dapur. Frans ada disana. Pria itu memakai singlet dan celana panjang berwarna hitam.

Posisinya membelakangi Sania, tempat gadis itu berdehem.

Frans menoleh. Matanya sedikit melebar melihat penampilan gadis itu yang terlihat seksi. Rambutnya basah dengan air. Belum lagi kulitnya yang putih terekspose batas dada.

Otak nakalnya kembali travelling. Frans ingin sekali  mengangkat gadis itu ke atas meja dan membuka kakinya lebar-lebar, untuk kemudian melakukan hal-hal yang sama, seperti  yang dilakukannya semalam. Tapi dia menggeleng dan berusaha menenangkan dadanya yang bertalu kencang.

“Kenapa, Sania? Jangan katakan kalau kamu menginginkannya sekarang.”

Frans memindai betis gadis itu yang putih mulus. Sania berpaling.

“Hentikan pikiran cabul Om, dan jangan membuat aku marah.  Om kemanakan bajuku?” tanya Sania tak bisa menutupi kemarahannya. Dia mengesampingkan rasa malu saat  ditatap mesum oleh pria yang sedang membuat omelet di atas wajan itu.

“Oh itu? Kamu bisa memakai pakaian Liby. Om sudah siapkan di atas tempat tidur. Cari aja di kamarnya.  Kamu ambil aja sendiri. Takutnya kalau Om yang ngantar, lama-lama Om nggak tahan lihat kamu,” tunjuknya dengan dagu ke arah kamar putrinya.

Sania menghentakkan kaki dan menuruti ucapan pria itu tanpa ada niat untuk membalas ucapannya.

‘Dasar pria mesum.’

Sania berjalan cepat. Dia harus menemukan pakaian itu sebelum pikiran Frans merajalela. Tapi dia langsung kaget begitu mendapati apa yang sudah dia sediakan  pria itu sebelumnya.

"Om  Frans….!"


Lari dari Obsesi Om FransTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang