Sania berbalik cepat ke arah dapur dengan perasaan marah. Sumpah dia benci dengan keadaan yang membuatnya tersiksa.
“Apa-apaan ini, Om? Apa ini yang disebut pakaian?” Sania melempar benda tak layak itu ke lantai. Crop top tanpa lengan dengan ukuran mini.
“Kenapa? Apa kamu tidak mau memakainya? Padahal Om sudah menyiapkan pakaian itu untukmu. Om yakin kamu akan terlihat lebih cantik dengan pakaian itu.” Frans menanggapinya dengan santai. Dia terus mempermainkan emosi gadis itu yang sialnya menggemaskan.
“Om, aku butuh pakaian untuk pulang bukan baju kurang bahan kayak gitu. Apa Om nggak lihat keadaan aku sekarang? Aku nggak mungkin pulang dalam keadaan kayak gini Om.”
“Maksudnya keadaan yang seperti apa? Coba jelaskan agar Om paham?” Frans pura-pura bodoh.
Sania bingung harus menjelaskan hal yang sebenarnya sudah jelas. Tanda merah di beberapa bagian badannya, dia tak mungkin memperlihatkan semua itu pada Mila, ‘kan?
Gila. Itu namanya bunuh diri. Sania bisa mati berdiri kalau sampai mamanya tahu apa yang sudah dilakukan oleh pria bejat itu terhadapnya.
“Sania, Om nanya lho. Keadaan seperti apa maksudmu?”
Sania kembali ciut. “Kenapa Om terus mempermainkan aku kayak gini, sih, Om?” Gadis itu kesal. Tapi dia tak berdaya. Matanya berkaca-kaca kesabarannya sudah tak bersisa. Tapi, nyalinya bahkan tak nampak secuilpun.
Entahlah dia harus menanggapi seperti apa kelakuan pria di depannya itu. Saking kesal dan tak berdayanya Sania, dia bahkan ingin menjerit dan mengeluarkan tangisnya saat itu juga.
Frans mendekat dengan tatapan dingin.
“Pakai pakaian yang sudah Om siapkan itu. Kamu tahu sendiri kalau pakaian milik Liby ada di dalam lemari. Dan tentu saja lemarinya dikunci oleh pemiliknya. Om tidak bisa menemukan pakaian lain untukmu. Jadi, sementara pakai itu saja, ya.”
“Om, tolong jangan gini dong. Jangan siksa aku kayak gini. Apa sih salah aku ke Om, sampai tiba-tiba Om berbuat kaya gini sama aku?” Sania terisak. Dia tak bisa lagi menguasai emosinya.
Frans mematikan kompor untuk kemudian mensejajarkan dirinya di depan gadis itu. Dia mengangkat dagu Sania hingga matanya yang berkaca-kaca saling bertatapan.
“Oke, Om akan jelaskan. Om sangat menyukaimu dan Om cinta sama kamu. Jadi, bisakah kamu bersikap manis dan menuruti semua keinginan Om?”
“Tapi kita tidak seumuran Om. Ini gila! Om bahkan lebih pantas nikah sama mama aku. Jadi, tolong jangan rusak aku seperti ini. Aku masih ingin hidup normal dan membahagiakan Mama.”
Sania menumpahkan semua yang ada dalam otaknya. Tidak, dia tak mau terjebak oleh pria gila itu. Baginya ini hanya kegilaan, bukan cinta. Pria itu terobsesi padanya, bukan benar-benar mencintai Sania sebagaimana cinta sesungguhnya.
Frans mendesah. Dia menekan dagu gadis itu dengan telunjuknya. Tatapannya yang dingin membuat siapapun tak berani menentang. Apalagi Sania, gadis remaja yang kesehariannya hanya bergelut dengan sekolah dan Drakor.
“Dengar Sania, itu tidak buruk, Sayang. Kamu hanya harus belajar menerimanya saja. Om akan tunjukkan dunia dewasa yang sudah sepantasnya kamu rasakan. Jadi, sekarang pergilah ke kamar dan pakai pakaian itu. Kamu tahu ‘kan, kalau Om adalah orang yang tak suka dibantah?”
“Tapi, Om—”
“Ambil pakaiannya sekarang atau Om akan memperkosa kamu sekarang juga,” jawabnya dingin.
Frans melirikan matanya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki membuat Sania merinding.
Sania langsung berbalik dan masuk ke dalam kamar Liby. Dia berusaha membuka lemari yang terkunci untuk mencari sepotong kaos, meskipun longgar asal bisa menutupi dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lari dari Obsesi Om Frans
Roman pour AdolescentsKetidaksengajaan Sania melihat Frans-papa temannya, yang sedang berbuat mesum membuat Sania tak bisa lari dari Obsesi pria itu yang ingin menjadikannya wanita simpanan. Sania yang masih lugu dan ketakutan tak berdaya dibawah cengkraman Frans yang se...