Hancur sudah dunia Sania. Setelah mati-matian menghindari Frans, menutupi semuanya dari Mila, lalu harapan terakhirnya, Liby, justru menyerangnya dengan kata-kata tuduhan yang menyakitkan.
Kini Sania tak punya pegangan atau tempat berkeluh kesah, apalagi seseorang yang mau mendengar penderitaan yang kini dialaminya.
Tapi entah darimana Liby mendengar cerita sepihak, hingga wanita itu tega ikut menuduhnya.
Setelah melihat sahabatnya syok, Liby bergegas pergi dan kembali ke kelas.
Pria yang mengantarnya ke tempat itu masih berdiri di koridor. Rambut merah dengan tindik di ujung bibir. Tampan dan terlihat bebas. Dua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tampak kalem memperhatikan kekasihnya.“Kita pergi aja,” ajak Liby menipiskan bibirnya menatap ke arah Sania yang tak jua bergerak.
“Lo beneran nggak masuk kelas?” tanya pria itu pada Liby yang menggeleng pelan.
“Buat apa?”
“Ya, buat belajar lah biar jadi orang baik dan berpendidikan. Masa’ buat tawuran,” sahut pria itu bercanda sambil mengacak poninya gemas.
“Ck, belajar? Jadi orang baik di sekolah juga belum tentu jadi orang bener di lingkungan. Apalagi kalau dia kesulitan ekonomi, maka bisa dipastikan kalau jalan terbaik adalah merayu om-om untuk menunjang hidupnya.”
Sindiran itu ditujukan pada Sania yang masih mematung, memperhatikan Liby yang pergi bersama kekasihnya. Dua tangan gadis itu meremas rok yang dia kenakan. Sakit. Sama sakitnya atas ketidakberdayaannya saat menghadapi Frans.
Merasa hampa dan hanya bisa menghembuskan nafas, Sania mencerna apa yang baru saja terjadi. Liby mungkin bukan sahabatnya lagi terhitung mulai sekarang.
Gadis itu pasrah, masuk lagi ke dalam kelas dan makin menundukkan kepala.
Tak sampai di sana, murid cowok yang sedang memainkan ponsel memanggil teman-temannya yang lain dan fokus pada layar persegi di depannya.
“Eh liat, Cuk. Ada film baru lagi. Nih cewek lagi sang* kayaknya,” celetuk seseorang yang masuk jelas ke telinga Sania.
Cewek lain yang ada di sana sedikit risih juga. Tapi bukan hal tabu kalau anak laki memang sering menonton video begituan.
“Mana, mana? Penasaran gue.” Sesaat anak-anak lain langsung berebut ingin melihatnya juga.
“Nih, lihat. Anjay, kasian gak ada temen. Hahah ….” Tawa pun membahana mengganggu sebagian murid.
“Lha, kayaknya baru umur belasan. Tapi kok gue kayak kenal dengan orangnya, ya?” sahut anak lain membuat Sania sontak mengangkat wajah.
“Yaelah wajahnya di blur gitu. Mana mungkin lo kenal. Tuh cewek orang jauh kali, meski ya kok wajahnya familiar ya?”
“Huuh, jangan-jangan ….!”
Anak-anak itu saling melirik. “Salah satu murid di sekolah ini lagi.”
Hahaha ....
Kuping Sania panas. Dia ikut penasaran. Tiba-tiba kepikiran adegan dirinya beradegan solo di kamar laknat pria itu.
Memberanikan diri karena tahu kalau ancaman Frans tidak pernah main-main, Sania mendekat, memecah kerumunan, berdesakan dengan anak-anak cowok.
“Boleh gue lihat?”
“What? Gila lo, San! Lo anak baek, gak guna liat beginian.”
“Gue penasaran.” Sania mati-matian menahan rasa malu. Apalagi arah pandangan mereka tiba-tiba berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lari dari Obsesi Om Frans
Teen FictionKetidaksengajaan Sania melihat Frans-papa temannya, yang sedang berbuat mesum membuat Sania tak bisa lari dari Obsesi pria itu yang ingin menjadikannya wanita simpanan. Sania yang masih lugu dan ketakutan tak berdaya dibawah cengkraman Frans yang se...