“Kenapa kamu ambigu seperti itu, Sania? Oh, Om tahu. Kamu mau tapi takut dan merasa ragu, ‘kan?” Frans menjeda kalimatnya, “tapi jelas sesuatu dibawah sana ingin merasakan kenikmatan itu juga. Benar begitu, ‘kan?”
Sania tak tahu harus menjawab apa ucapan pria mesum di depannya. Ingin mengiyakan tapi dia malu, sedangkan ingin mengelak pun, mana mungkin. Frans jelas melihat tingkah dan wajahnya yang sudah memerah bak kepiting rebus.
“Katakan kalau kamu butuh belaian, jangan sungkan-sungkan, Sania. Memohon lah, mungkin Om bisa kabulkan.”
Frans kembali terpejam merasakan sesuatu yang liar ingin mencari jalan surga. Dia terus memainkan jagoan miliknya dengan pikiran melayang.
Pria berdada bidang itu juga melirik pada Sania yang berkali-kali menelan ludah di tenggorokan. Meski Sania sudah berusaha melihat ke arah lain, dia tak mampu menetralkan pikirannya sendiri, ditambah makin lama gerakan Frans semakin liar saja.
Pria itu melenguh sambil memijat batangnya yang kokoh, dan membelainya lembut lewat bantuan minyak khusus.
Matanya terpejam dengan desahan kuat. Sania yang awalnya ketakutan justru menikmatinya dengan tanpa sadar menyentuh leher dengan dua tangannya sendiri.
Sudah tak dipedulikan lagi tatapan nakal dari pria yang terang-terangan menggodanya tapi masih tak mau menyentuh tersebut. Sania hilang akal dan masuk dalam gairah yang membakar.
Frans yang terobsesi padanya tersenyum jahil. Dia berbalik dengan jagoan menegang seperti pedang, siap membelah jalan sempit yang ingin dimasukinya.
“Katakan kalau kamu juga menginginkannya, Sania. Jangan dipendam, nanti sakit kepala. Dan ya, kamu belum pernah merasakan sensasi bercinta itu sendiri, ‘kan? Rasanya nikmat sekali, jauh lebih mendebarkan daripada menahan diri untuk tidak Om sentuh. Bagaimana?”
“Nggak, Om … emh, nggak.” Sania tak berharap kata-kata pengharapan itu lolos dari bibirnya.
Dia merasa munafik kalau dia tidak haus belaian pria tampan rupawan tapi licik tersebut.
Tapi seharusnya tak boleh seperti itu, ‘kan? Bodo amat dengan Frans, Sania harusnya bisa melewati siksaan itu sekuat tenaganya.
“Katakan sekali saja, Sania …!”
Frans kembali melenguh bagai singa jantan yang menunggu bagiannya. Sumpah Sania makin gusar dibuatnya.
“Tolong hentikan, Om. Please ….” Sania bicara diantara desah tertahan. Dadanya membusung dengan kepala yang serasa berat. Ternyata menahan siksaan birahi lebih buruk dari dugaannya.
Frans mendominasi, tertawa jahil. Dia tak berhenti menggoda gadis itu hingga Sania memohon dan memintanya sendiri.
Dalam beberapa menit saja, dia yakin Sania yang polos bahkan menginginkan belaian darinya.
“Sania, lihat ini. Apa kamu masih mau menolak?”
“Om, aku mohon … menjauhlah.”
“Naiklah ke atas tempat tidur dan biarkan Om membuka pakaianmu. Akan Om gagahi kamu dan membuatmu bahagia.”
Bak kucing dipaksa minum racun, Sania menggeleng kuat. Dia masih duduk di tepian tempat tidur, membiarkan Frans mendekat dan menggesekkan benda tumpul namun yakin akan manjur meleburkan gairah dalam dadanya tersebut.
Frans berdiri di depan Sania yang memejamkan mata. Tiupan halus di wajahnya membuat gadis itu bak dihipnotis. Sania berusaha menggigit bibirnya agar tak semakin ternoda.
Frans yang melihatnya cukup kagum atas usaha gadis itu mempertahankan diri.
“Bagaimana kalau Om buka pakaian kamu. Apa kamu masih mau menolak?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Lari dari Obsesi Om Frans
Dla nastolatkówKetidaksengajaan Sania melihat Frans-papa temannya, yang sedang berbuat mesum membuat Sania tak bisa lari dari Obsesi pria itu yang ingin menjadikannya wanita simpanan. Sania yang masih lugu dan ketakutan tak berdaya dibawah cengkraman Frans yang se...