Chapter 3

887 95 0
                                    

.
.
.

Happy Reading
.
.
.
Kini Caine tengah berada di balkon kamarnya, menatap langit malam yang indah. "Huhh, aku bosan. Kira-kira kemana perginya Molly?" gumamnya dalam hati.

Karena bosan, Caine memutuskan untuk berjalan-jalan di sekeliling istana, mencari sesuatu yang bisa menghiburnya.

Setelah beberapa saat berjalan, ia menemukan pintu besar berwarna putih emas yang menarik perhatiannya.

"Perpustakaan istana..."
.
.
.
.

Kakinya masuk menuju ruangan tersebut, matanya langsung disambut oleh deretan buku yang tak terhitung jumlahnya, tersusun rapi di rak-rak tinggi.
Cahaya lembut dari lampu-lampu kristal menggantung di langit-langit, memberikan suasana yang hangat dan tenang. Caine merasa sedikit takjub melihat betapa besar dan megahnya perpustakaan ini.

Di sudut ruangan, ia melihat seorang perempuan dengan rambut ungu muda yang rapi sedang duduk di sebuah meja besar, membaca sebuah buku tebal. Perempuan itu menoleh ketika mendengar langkah Caine mendekat.

"Ibu?" panggil Elaine dengan suara lembut.

Elaine menunduk hormat memberi salam pada Caine. "Sedang apa ibu malam-malam begini?" tanyanya.

Caine duduk di sebelah Elaine, mengamati buku yang sedang dibaca oleh putrinya. "Cuma jalan-jalan, Elaine sendiri?" tanya Caine dengan penuh perhatian.

Elaine tersenyum canggung sembari menggaruk lehernya. "Hehe, Elaine cuma mau nenangin diri aja, bu. Seharian ayah maksa Elaine latihan, belajar, dan lain-lain. Elaine sebenarnya gak suka, tapi mau gimana lagi, Elaine kan seorang putri," jawabnya dengan nada melas.

Tangan Caine beralih mengusap surai ungu itu, menatapnya dengan penuh kasih sayang. "Kalau Elaine capek, gak apa-apa gak usah dilakuin. Nanti biar ibu bilang ke Rion biar kasih waktu istirahat buat kamu ya," ujarnya lembut.

Elaine menatap ibunya dengan mata berbinar, merasakan kelegaan yang amat sangat. "Benarkah, bu? Terima kasih banyak. Elaine kadang merasa terlalu banyak tekanan, tapi Elaine gak mau ngecewain ayah."

Caine tersenyum lembut. "Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu, yang penting adalah kebahagiaan dan kesehatanmu. Kita bisa mencari cara agar kamu tetap bisa belajar dan berlatih tanpa merasa tertekan."

Elaine mengangguk, merasakan semangatnya kembali bangkit. "Terima kasih, ibu."

Caine mengangguk puas, lalu pandangannya tertuju pada buku yang dibaca Elaine. "Apa yang sedang kamu baca, Elaine?"

"Oh, ini buku tentang sejarah kuno dan artefak magis. Sangat menarik, tapi juga sedikit membingungkan," jawab Elaine sambil menunjuk beberapa halaman.

Caine tersenyum. "Mungkin kita bisa membaca bersama dan mencari tahu lebih banyak. Malam ini bisa menjadi waktu yang menyenangkan untuk kita berdua."

Elaine tersenyum lebar, merasa senang karena bisa berbagi waktu dengan ibunya. Mereka berdua kemudian duduk berdampingan, membaca buku bersama, dan tenggelam dalam kisah-kisah menarik yang penuh dengan keajaiban dan petualangan.

Malam itu, perpustakaan istana menjadi tempat yang penuh dengan cinta dan kehangatan, di mana ibu dan anak menemukan kebahagiaan dalam kebersamaan.
.
.
.
"Hoaaamm~" Harris terbangun dari tidurnya, mulai meregangkan tubuhnya yang kelelahan.

"Halo!" sapa Molly tiba-tiba, muncul di depan Harris dan membuatnya kaget seketika.

"Astaga, Molly!" Harris memegang dadanya, merasa jantungnya berdetak kencang. "Bikin kaget aja. Dari mana aja kamu?"

Molly tersenyum ceria, matanya bersinar penuh semangat. "Maaf ya, Harris! Aku lupa bilang, hehe. Aku ada urusan dengan pembuat sistem ini," jelas Molly, nadanya tiba-tiba berubah menjadi serius, "dan membawa kabar buruk hari ini."

Harris mengerutkan kening, merasa khawatir. "Kabar buruk? Apa yang terjadi?"

Molly menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Alur sudah banyak berubah semenjak kamu datang ke istana ini, dan aku baru saja mendapat kabar bahwa Raja Dametros Noe Horownz, atau bisa dibilang ayah Caine, dinyatakan meninggal dunia karena penyakitnya," jelas Molly.

Noe Horownz. Raja Kerajaan Dametros sekaligus ayah dari Caine Canavero, adalah sosok yang sangat lembut dan penuh kasih sayang. Ia merawat kedua putranya dengan penuh cinta. Sejak kematian istrinya, ia jatuh sakit, menderita penyakit berbahaya yang bisa membunuhnya kapan saja. Caine selalu berharap bahwa ayahnya akan sembuh meskipun tahu bahwa harapan itu tipis.

Mata Harris melotot, ia bahkan belum pernah bertemu dengan Raja Noe sebelumnya. "Lalu, apa yang harus kulakukan nantinya?" tanyanya, masih terkejut dengan berita yang baru saja didengarnya.

Molly menghela napas dan menatap Harris dengan penuh pengertian. "Tenang saja, tidak perlu repot berpura-pura sedih. Perasaan dari Caine akan menyelimutimu nantinya, rasa sakit yang sama saat kau kehilangan orang tuamu, Ris."

Harris terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Molly. Apa ia akan merasakan sakitnya kehilangan untuk yang ketiga kalinya? Kenangan tentang kehilangan kedua orang tuanya sendiri masih sangat segar di ingatannya.

"Ini tidak akan membuatku terlarut, jadi tenang saja," lanjut Molly dengan suara lembut namun tegas. Harris mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya. "Baik, aku akan melakukan yang terbaik."
.
.
.
Kini Caine tengah berada di Aula kerajaan, ditemani anak-anaknya dan Rion yang tengah berbincang santai. Suasana yang tenan bukan? . . .

"YANG MULIA, YANG MULIA!" teriak seorang pembawa pesan kerajaan dengan nafas yang tak beraturan saat berlari memasuki aula.

Rion menatapnya dengan mata tajam, nadanya tetap dingin dan tegas. "Tenang dirimu, Liam. Ada apa?"

Pembawa pesan, Liam, mencoba menenangkan diri, namun tetap terengah-engah.
"Saya... saya mendapat pesan dari Kerajaan Dametro bahwa... huh... bahwa Yang Mulia Raja Noe Horownz telah dinyatakan meninggal dunia karena penyakit yang ia derita," jelasnya dengan terbata-bata.

Saat itu juga, dunia rasanya berhenti berputar bagi Caine. Dadanya terasa sakit seakan tersambar petir, matanya mulai berkaca-kaca, dan bulir air mata pun tak mampu lagi ia tahan. Tubuhnya melemas seketika, seolah kekuatan yang dimilikinya menghilang dalam sekejap.

Rion yang peka dengan cepat meraih tubuh rapuh Caine, membawanya dalam dekapannya. Caine menangis sesegukkan, air matanya mengalir deras.

"Ayah...," isaknya, suaranya penuh dengan kepedihan yang mendalam.

Rion menepuk-nepuk punggung Caine dengan lembut, berusaha memberikan dukungan yang ia bisa. "Tenanglah, Caine. Kita semua di sini untukmu. Ayahmu pasti ingin kau kuat."

Anak-anak, yang melihat ibu mereka dalam keadaan seperti itu, juga merasakan kepedihan yang mendalam. Mereka menunduk, tak ada yang berani mengucap satu katapun.

" Siapkan perjalanan menuju Kerajaan Dametros sekarang juga! ".

TBC

ga tau capek pengen beli truk, aopp. See you in next chapter muwahh 🥐🥐

𝐄𝐍𝐃𝐈𝐍𝐆 ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang