Ketika lampu kamar sudah dimatikan, suasana di ruangan itu menjadi gelap. Mereka hanya bergantung pada cahaya dari ruang tengah yang masuk melalui beberapa celah dari ventilasi. Maven mengedarkan pandangannya ke kanan dan kiri, mencoba untuk mencari-cari selimut di tempat tidur itu. Keadaan kamar begitu remang-remang. Hujan masih terdengar deras di luar sana. Walau lampu rumah mereka sudah menyala, perasaan mencekam itu masih ada.
Sekarang sudah pukul setengah dua belas. Namun anehnya di malam hari seperti ini Maven belum bisa tertidur. Berbeda dengan teman-temannya yang sudah tidur pulas, mata Maven seolah dibuat untuk terus terjaga sepanjang malam. Sudah beberapa kali Maven memejamkan matanya, bahkan ia memasang headset dan mendengarkan lagu pengantar tidur dengan upaya bisa menenangkan pikirannya. Bahkan, ia juga beberapa kali beralih posisi berbaring nya. Maven frustasi. Ia memilih untuk bangun dan keluar dari kamar lalu berjalan menuju dapur dengan niat ingin membuat teh hangat.
Saat Maven melangkah memasuki dapur yang terletak di paling belakang, dari sudut matanya, Maven melihat ada bayangan seseorang yang berdiri tepat di depan jendela namun di luar rumahnya. Maven menggosok-gosok matanya, mungkin saja ia salah lihat atau berhalusinasi karena sekarang pikirannya sedang tidak tenang sebab belum tidur.
Maven pun memilih untuk terus melakukan aktifitasnya yaitu; membuat teh hangat. Ketika ia selesai dan hendak meminumnya, Maven masih melihat dari sudut matanya bahwa bayangan seseorang itu masih ada dan bahkan sekarang bayangan tersebut bukan hanya berdiri tegap. Dengan gerakan yang dibuat patah-patah, seseorang itu melambaikan tangannya. Maven sontak menoleh ke arah jendela tersebut. Saat itu seketika tubuh Maven mematung tatkala melihat bahwa ternyata sedari tadi ia tidak sendiri, melainkan ada seseorang yang mengenakan setelan kostum badut. Mulut Maven ternganga, tubuhnya bergetar. Maven melihat badut itu menorehkan pisau pada jendela hingga menimbulkan suara berderit yang membuat telinganya ngilu saat mendengar.
Walau di luar sana tampak gelap karena agak jauh dari perumahan warga lain, Maven masih tetap bisa melihat dengan jelas bahwa badut itu tersenyum lebar dengan make up tebal kearahnya. Gorden jendela yang tipis tidak menjadi penghalang bagi badut itu untuk terus menakut-nakuti Maven. Ia saat itu hendak berteriak, namun satu huruf pun tak mampu di ucapkan. Lidahnya terasa kelu. Baru kali ini ia merasa sangat takut. Perlahan pandangan Maven menjadi gelap dan gelas berisi teh hangat yang dipegangnya sedari tadi terjatuh ke lantai yang terbuat dari keramik hingga gelas kaca tersebut pecah. Maven pingsan.
••••
Beberapa saat kemudian, Maven membuka matanya dengan perlahan, memijat pangkal hidungnya karena masih merasa pening. Ia terbangun sudah dalam kondisi tubuh terbalut dengan selimut dan tampak kelima teman-temannya sedang duduk di tempat tidur, mengelilinginya. Senyum lega terlukis di wajah kelima remaja itu saat melihat bahwa Maven sudah terbangun. Maven menyipitkan matanya kala mendapati cahaya matahari menembus masuk ke dalam ruangan kamar. Ia menatap jam dinding di seberangnya. Ternyata sekarang sudah menjelang siang, tepatnya pukul setengah sebelas. Entah seberapa lama Maven pingsan setelah melihat penampakan badut tadi malam.
Maven mencoba untuk bangun dan bersandar pada bantalan ranjang dengan dibantu oleh Devano.
"Kenapa lo bisa pingsan, Ven?" tanya Dafian dengan khawatir.
Si lawan bicara hanya diam saja. Tampak Maven mengerutkan dahi, mencoba memproses apa saja yang terjadi pada tadi malam. Ia menghela nafas berat dan menutup matanya guna mengingat kejadian tadi malam.
"Gue... Tadi malam gue pergi ke dapur buat bikin teh hangat, soalnya pas kalian udah tidur nyenyak, gue masih belum bisa tidur. Gatau kenapa. Pas udah di dapur, dari sudut mata gue melihat ada bayangan seseorang gitu di jendela, kan jendela dapur terbuat dari kaca dan cuma ditutup gorden tipis aja. Awalnya gue cuma ngebatin 'ah, ini cuma halusinasi aja. Efek belum tidur.' Tapi pas gue mau minum teh hangat itu, tiba-tiba bayangan di jendela itu gerak, melambaikan tangan ke arah gue. Gue sontak noleh dong. Gue liat, sosok bayangan itu jelas bukan cuma halusinasi karna dia senyum ke gue, seolah-olah ngejek, mau nakut-nakutin gitu. D-dia pakai kostum badut yang ada di lemari kamar kita... Dia bawa pisau tajam. Gue takut.." ucap Maven menceritakan kembali apa yang ia alami tadi malam.
Melihat Maven yang kembali ketakutan, Devano yang peka pun langsung mengambil lengan Maven dan memijatnya dengan lembut. "Untung aja Zayden nemuin lo,"
"Tadi malam lo ga tidur, Zay?" Dafian bertanya sambil menatap Zayden yang tengah sibuk memainkan ponsel.
"Enggak."
Dafian menganggukan kepala sebagai anggukan paham kala menerima jawaban singkat dari Zayden.
"Tapi, gue liat lo tidur kok." Nathan memiringkan kepalanya, ingin bertukar pandang dengan Zayden yang berada di depannya.
Sontak aktifitas Zayden terhenti kala pernyataan itu dilontarkan untuknya. Matanya bergerak ke sana kemari sebelum menatap ke arah Nathan. "Tau dari mana kalau tadi malam gue lagi tidur?" tanya Zayden yang diakhiri dengan senyum miring tersungging pada sebelah sudut bibirnya, membuat Nathan terdiam dan tergagap, berusaha mencari kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu.
"Gue masih pusing..."
Mendengar suara rintihan Maven, William memijat bahu temannya itu. Wajah mereka kembali khawatir sebab melihat kondisi Maven tak kunjung membaik. Wajah remaja itu terlihat pucat dan terdapat mata panda di bawah matanya.
"Istirahat dulu, ya. Coba berbaring lagi. Gue mau bikinin lo sarapan biar lo bisa minum obat. Gue tau, kejadian ini pasti bikin lo trauma sama badut."
Tutur kata lembut yang diucapkan oleh William bagai lagu pengantar tidur baginya. Maven tersenyum dan kembali berbaring, menarik selimut hingga menutupi dadanya. Maven menutup mata, berusaha rileks sehingga ia akhirnya bisa tertidur, membayar semua rasa lelahnya.
Zayden memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Senyum geli terlihat di sudut bibirnya ketika mendengar dengkuran halus yang dihasilkan oleh Maven saat temannya itu tertidur pulas. Setelah memandang lamat kearah wajah Maven—Zayden mendongakkan kepalanya untuk menatap teman-temannya satu persatu dan berhenti tepat ketika bertatap muka dengan Nathan. Melihat tatapan tajam yang diberikan oleh Zayden, Nathan reflek menundukkan kepalanya dan dia berdeham.
Zayden turun dari tempat tidur dan berjalan ke arah lemari kayu yang sudah hampir rapuh karena di makan oleh rayap. Dengan hembusan nafas panjang, Zayden membuka lemari tersebut. Keempat orang lainnya menatap heran kearahnya, memantau dari tempat tidur.
Devano memanyunkan bibirnya, "Ada apa?"
"Ck," Decikan kesal terlontar dari bibir Zayden saat ia menutup pintu lemari tersebut. Dia berbalik untuk menatap ke arah teman-temannya. "Lo naruh plastik yang berisi kostum badut itu di lemari ini, kan?"
Dafian menganggukkan kepala kala merasa pertanyaan tersebut tertuju padanya.
"Plastiknya hilang. Kostum itu nggak ada lagi di lemari ini."
"Jangan becanda. Gue naruh nya bener kok di situ."
"Gue nggak pernah becanda di waktu yang kayak gini." Zayden berkata dengan suara rendah namun tegas.
Jantung William seakan berhenti berdetak kala mendengar pernyataan dari temannya itu. Dia memegang dadanya yang terasa sesak dan perlahan membaringkan tubuhnya.
"Kenapa, Wil?" Panik Devano, Dafian serta Nathan. Dengan cekatan, Dafian mengipasi wajah William dengan kipas tangan yang tadi juga ia gunakan untuk mengipasi Maven.
Dengan suara yang terputus-putus, William berusaha untuk menyelesaikan perkataannya. "T-takut, gue phobia badut.." ujar William. Suaranya pelan agar tidak membangunkan Maven yang sedang tidur.

KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH TUJUH ENAM [Proses Terbit]
De Todo[PLAGIAT? CERITA INI BUKAN UNTUK DI COPY PASTE!] Samanya kejadian yang menimpa ke-enam remaja laki-laki pada tahun 2024 ketika menempati sebuah rumah bernamakan "Rumah Kita" menuai perbincangan warga sekitar. Tak jarang mereka berfikir, "mungkinkah...