33

118 61 5
                                    

Karena terlalu fokus berlari melewati jalan becek dan beberapa ranting yang jatuh ke tanah, lima remaja tersebut tidak memperhatikan kemana balon itu terbang. Mereka baru sadar sudah kehilangan jejak ketika Maven mengarahkan untuk berhenti sejenak seraya mengambil nafas. Mereka bingung sekaligus takut. Hari sudah memasuki waktu malam. Suasana di hutan itu begitu lembab serta dingin. Mereka berlima mengedarkan pandangan ke sekeliling guna mencari tanda-tanda dari balon gas helium.

Dari kegelapan hutan di depan sana, mata William terpaku pada seseorang yang perlahan mendekat ke arah mereka sambil membawa sebuah balon merah di tangannya. William berjalan mundur karena ketakutan, teman-temannya pun ikut menatap sosok tersebut. Panik. Itu yang dirasakan mereka semua. Rasanya, kaki mereka akan lumpuh dan tubuh mereka ambruk di sana. Sosok itu semakin mendekat dengan jalan yang lamban.

"Nyari ini?"

Suara tersebut diiringi dengan munculnya seorang lelaki yang disoroti secercah cahaya masuk dari celah dedaunan. Jarak mereka berdekatan, visualnya perlahan dapat di kenali dengan baik. Ekspresi terkejut terlihat di wajah mereka semua saat melihat pemandangan tersebut. Seseorang yang mati-matian mereka cari dan rela berlari ke tengah hutan untuk mengikuti arah balon gas helium akhirnya muncul juga.

Zayden. Lelaki itu tersenyum tipis dan mendekati temannya. Ia merentangkan kedua tangan guna menunjukan keadaannya.

"See? Gue nggak kenapa-kenapa."

"T-tapi lo kenapa bisa di hutan ini, Zay? Dan, di sudut bibir lo..." Nathan menunjuk sudut bibir Zayden yang berwarna merah seperti bekas make-up. Sedangkan, Zayden sendiri tidak pernah mengenakan lipstik. Paling tidak, ia hanya mengoleskan pelembab bibir saja, itupun warnanya bening, bukan merah.

Dengan gerakan cepat Zayden menghilangkan noda di sudut bibirnya dengan tangan kiri dan tangan kanannya masih memegang balon udara. Gelagatnya tampak panik, bahkan sempat terjadi keheningan beberapa saat sebelum Zayden menjawabnya.

"Um.. Nggak ada. Lo salah liat. Sekarang kan udah gelap, mungkin aja bayangan dari daun."

Nathan mengerutkan keningnya. Merasa janggal dengan jawaban dari Zayden. Mana mungkin bayangan daun tidak bergerak saat wajah Zayden terus beralih pandang. Dan juga, angin di situ sedari tadi berhembus. Aneh. Tetapi Nathan tidak ingin memperumit keadaan.

"Ya udah, kita balik ke rumah."

Devano, Dafian, William serta Maven mengangguk mengikuti arahan Nathan kecuali Zayden. Dia diam sambil memperhatikan teman-temannya melangkah. Dafian kembali berbalik, menatap Zayden yang masih mematung di tempat awal.

"Nggak mau pulang?" tanya nya.

"Kalian ingat jalan pulang?"

Seketika semuanya langsung terdiam dan melihat ke sekeliling dan sadar bahwa tadi mereka sudah terlalu jauh berlari hingga sekarang ini berada di tengah-tengah hutan belantara, sangat jauh dari jangkauan warga. Ketakutan semakin meningkat ketika terdengar suara hewan buas. Serigala. Suaranya memang samar, namun tetap saja menakutkan. Terlebih lagi, rintikan hujan mulai berjatuhan.

"Lo sendiri ke sini nggak tau jalan pulang? Duh, mana gue nggak bawa ponsel!" Suara Devano terdengar bergetar saat bertanya. Tangannya melingkar pada lengan Nathan, seolah sedang bersembunyi.

Lagi dan lagi, Zayden hanya diam. Senyum miring nya sayup-sayup terlihat di kegelapan hutan. Zayden melepaskan balon udara yang sedari tadi ia pegang. Otomatis, balon tersebut langsung melayang. Mereka semua sama-sama memandang ke atas, melihat balon tersebut terbang mengikuti arah angin. Zayden mengeluarkan sesuatu di dalam saku celananya. Mata mereka berbinar ketika ternyata Zayden membawa sebuah petunjuk arah. Kompas.

"Kita ikuti jarum dari kompas ini. Ke sana." ujar Zayden sembari menunjuk ke arah selatan, tempat muncul dirinya di awal tadi.

Semuanya mengangguk dan mulai berjalan sesuai arahan. Zayden berada di belakang untuk menjaga teman-temannya dari marabahaya. Sepanjang perjalanan, mereka semua terus diam. Hanya ada suara grasak-grusuk dedaunan serta ranting yang mereka injak.

Rintik hujan semakin lebat berjatuhan. Sepertinya, mereka akan kehujanan di hutan malam ini. Atau mungkin, mereka tidak akan bisa keluar dari hutan itu? Karena jelas sekali bahwa hutan itu sangat luas dan bisa saja ada berbagai hewan buas di dalamnya.
 
Satu jam terus berjalan tanpa penerangan apapun. Bulan purnama mulai naik ke atas, menggantikan matahari senja. Mereka yakin kompas itu tidak membawa ke jalan yang benar, melainkan semakin menuju ke tengah hutan karena mereka sama sekali tidak ada mendengar suara Adzan maghrib yang biasanya berkumandang.

Suasana hutan begitu lembab, dinginnya angin malam menyapu lembut permukaan kulit. Tak hanya takut dengan adanya hewan buas, mereka berenam juga was-was kepada makhluk astral yang lebih sering menampakkan diri pada malam hari.

Setelah sekian lama berjalan, mereka berhenti di bawah naungan gubuk bambu di tengah-tengah hutan untuk beristirahat sejenak sebelum kembali melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak di hutan tersebut.

"Jarum kompas nya masih ke arah selatan?" William meneguk ludahnya dengan keras, merasa sangat kewalahan menghadapi situasi ini.

Zayden mendekatkan benda bulat itu, mencoba mengamatinya lebih jelas. "Masih." ucapnya singkat.

Devano yang paling muda dan memiliki jiwa penakut di antara mereka pun langsung menangis. Dia meringkuk memeluk kedua kakinya dan menopang dagu di lutut. Tubuhnya bergetar, dia terisak sambil mengedarkan pandangannya menatap hutan di depan sana.

Hujan tidak terlalu lebat, tapi tetap saja membuat tanah menjadi becek dan pastinya sepatu yang mereka kenakan menjadi kotor. Nathan membersihkan sepatunya menggunakan ranting serta daun yang ada di tanah.

Dafian bersusah payah untuk menenangkan kedua temannya. William dan Devano. William yang pada dasarnya phobia terhadap badut, sungguh memunculkan kekhawatiran pada Dafian. Sejujurnya ia juga takut, namun berusaha untuk memendamnya agar tidak memperburuk keadaan. Dia menutup mata, mensterilkan nafasnya.

"Gue nggak sanggup, Zay. Kita udah lumayan jauh berjalan, tapi kayaknya dari tadi cuma muter-muter di sini-sini aja. Gue capek." Maven menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan sembari mencurahkan isi hatinya.

"Laper..." Devano memegang perutnya. Punggungnya menempel pada batang bambu di gubuk yang mereka jadikan untuk tempat berteduh.

Dafian prihatin terhadap Devano. Tidak biasanya anak itu merengek meminta makan. Zayden memandang langit malam, di sana hanya dirinya yang terlihat santai. Ia bersiul, mengetikkan jari-jarinya seolah sedang membuat irama lagu. Maven merasa kesal sebab Zayden yang ia tanyai tidak menjawab.

William bernafas berat, hiruk pikuk suasana membuatnya semakin tidak bertenaga untuk melanjutkan perjalanan. Kaki William terbujur lemah dengan punggung bersandar pada bahu Maven.

"Zay, gue nggak sanggup... Rasanya, tenaga gue udah terkuras habis."

Dafian memijat-mijat bahu lalu turun ke lengan William, membantu meredakan kekhawatiran temannya itu. "Kita pasti bisa keluar kok dari sini. Ingat, ini bukan malam terakhir kita." Dafian berucap dengan meyakinkan.

Di saat yang lain sedang menguatkan diri, Maven tampak mengeluarkan sebuah buku diary berwarna biru dari saku hoodie-nya yang dalam. Buku tersebut tidak pernah ditinggal saat kemanapun ia pergi. Baginya, buku diary lebih penting daripada ponsel. Makanya saat ini dirinya tidak membawa ponsel, melainkan hanya membawa buku itu untuk mengabadikan momen.

"Nulis apa?" celetuk Dafian kala melihat Maven menuliskan sesuatu di atas kertas bergaris-garis itu.

"Random. Gue nulis karena takut malam ini adalah malam terakhir kita. Dan siapa tau nanti ada orang yang nemuin buku gue,"

Secara spontan Nathan memukul keras pada bahu Maven, jelas jengkel dengan perkataan temannya. "Ngadi-ngadi lo! Gue nggak mau mati, ya!"

"Nggak ada yang tau kedepannya, Than. Gue cuma waspada aja." jawab Maven santai, mengabaikan pukulan yang mengenai bahunya.

RUMAH TUJUH ENAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang