03

5 1 0
                                    

          "Yakin lo gak curiga sama kepala sekolah kita?" Wanita itu tak gentar terus mendesak Ian.

          "Gue gak mau gegabah, lagian gue tau banget kalau Pak Mahendra itu baik banget." Ian bersikeras dengan ucapannya, dia tak mau terlalu cepat mengambil keputusan. Dia tahu betul bagaimana karakter Mahendra. Selama beliau membimbingnya, sama sekali tak ada kendala apapun.

          "Gegabah gimana? Orang jelas banget ada bercak merah!" Sahut Griselda.

          Berbanding terbalik dengan Ian, Griselda tetap ngotot dengan pendapatnya itu. Berbagai cara dilakukan oleh wanita itu agar bisa membujuk Ian. Dia ingin cepat-cepat menjawab kejanggalan yang ada di sekolah mereka.

          "Oke, gini deh. Gimana kalau selesai lo ekskul, kita diem diem ke ruang kepala sekolah buat nyari barang yang mencurigakan?" Untuk sekian kalinya Griselda melontarkan saran.

          "Lancang banget, kalau kita ketahuan gimana?" Ian memprotes saran dari wanita itu.

          "Ketahuan itu belakangan aja, ayolah Ian. Katanya gue temen lo, masa gak mau ikut sih?" Ian mendelik malas, dia hanya merespon wanita itu dengan anggukan.

          Dengan hati yang kegirangan, wanita itu terus-menerus mengikuti Ian. Sesekali dirinya membukakan botol minum untuk Ian, sehingga teman-teman Ian memperhatikan gerak-gerik mereka. Tak jarang dari mereka yang menggoda dua orang itu. Namun, Griselda tak menyadari hal tersebut sehingga dirinya tetap membuntuti pria itu. Hanya Ian yang menyadari hal itu, dia sempat melempar handuk basahnya itu kepada salah satu temannya.

          Saking ingin menghindari Griselda, Ian berlari menjauh dari wanita itu. Namun, Griselda juga ikut berlari mengejarnya. Keduanya asyik berlarian kesana-kemari dan sesekali tertawa satu sama lain. Orang-orang sekitar yang melihatnya ikut tertawa saat Ian hampir terjatuh karena menginjak batu.

          "Disuruh latihan malah India-Indiaan lo, Ian!" Teriak salah satu temannya.

          "Liat tuh Pak, si Ian malah pacaran tuh!" Sahut temannya yang lain.

          "Engga Pak, bukan pacar! Jangan dengerin Agus, Pak! Tukang tipu dia!" Ian berteriak sambil terengah-engah kehausan. Pria itu lalu mendekati pelatihnya, masih dengan dibuntuti oleh Griselda.

          "Gak cape apa ngikutin gue terus?" Tanya Ian. Griselda hanya menjawab dengan gelengan.

          "Gak akan cape kalo yang dikejarnya Ian mah," ucap temannya yang bernama Agus itu.

          "Berisik, lo tuh gak diajak!" Ian menjawabnya dengan ketus. Orang-orang yang ada di sekitarnya itu hanya tertawa melihat keduanya tengah beradu mulut.

          "Udah, yuk kita mulai aja latihannya," ujar pelatih Ian sambil berjalan menuju tengah lapangan.

          "Ya udah, lo tungguin aja di tempat yang teduh sana." Ian menunjuk ke arah yang dia maksud.

          "Cieee, perhatian banget. Disuruh ke tempat yang teduh..." Sambil berlari menjauh dari Ian, Agus masih asyik menggoda temannya itu.

          "Eh lo tau gak gosip akhir-akhir ini?" Tanya salah satu teman Ian yang lain.

          "Gue bukan cowok gosip kayak lo!" Jawab Ian dengan ketus.

          "Ini bukan gosip recehan biasa," ujarnya terpotong saat dia meneguk air dalam botolnya.

          "Tentang jenazah kelas 12 yang meninggal kemarin, katanya banyak jahitan di bagian dadanya." Mendengar hal itu Ian tersentak. Namun, dia hanya merespon temannya dengan ekspresi yang biasa saja karena tidak ingin temannya itu tahu kalau dirinya tengah menyelidiki hal tersebut.

          Griselda sedari tadi hanya tertawa melihat kelakuan Agus, dia sama sekali tak tersinggung dengan ucapannya. Wanita itu terlihat menikmati kericuhan yang ada di lapangan, seolah tak sering merasakan kehangat di kesehariannya. Griselda tersenyum sepanjang Ian berlatih, dia sesekali menyodorkan minuman untuk pria itu. Hal tersebut jelas membuat teman-teman Ian semakin menggoda dirinya.

          Setelah dua jam berlalu, semua yang berada di lapangan, satu-persatu mulai bepergian pulang. Namun, ada juga yang masih berdiam di sana sambil menghabiskan makanan yang mereka miliki. Ian bersama Griselda juga tidak langsung pulang, mereka menghabiskan makanan yang sudah disediakan oleh Griselda terlebih dahulu.

          Setelah semua makanan itu habis, mereka memutuskan untuk pergi dari tempat itu dan pulang. Namun detik kemudian, tetesan-tetesan air dari langit pun turun. Rintikan-rintikan itu berjatuhan dengan sangat cepat, mereka hanya sempat berlari sampai koridor sekolah karena jarak dari lapangan ke parkiran sangatlah jauh. Dengan ditemani oleh petir yang bergemuruh, mereka berteduh dalam keadaan setengah basah.

          "Eh, tadi lo denger apa yang dibilang sama temen gue?" Tanya Ian dengan ragu-ragu.

          "Yang mana? Jarak gue sama kalian kan lumayan jauh," jawab Griselda sambil memainkan air yang mengalir dari pipa saluran yang bocor.

          "Tentang jenazah kelas 12 yang meninggal kemarin, katanya banyak jahitan di bagian dadanya." Dengan hati-hati Ian mengatakan hal tersebut, takut jika ada orang yang mendengar perkataannya itu. 

          Mata wanita itu membulat, terkejut mendengar pernyataan dari Ian. Pikirannya mulai bergulat, memikirkan apakah hanya jasad itu saja atau jasad-jasad yang lainnya pun sama seperti itu.  Dia tak bisa membayangkan jika berada di posisi para korban, selain nyawanya yang diambil tetapi organ-organnya pun turut diambil. Masih asyik berbincang, keduanya mengobrol sambil berjalan di koridor sekolah.

          Sepanjang koridor sekolah, tak ada satupun lampu yang menerangi. Griselda seketika ingat dengan rencananya untuk mencari tahu tentang kepala sekolah, dia mengajak Ian untuk menyelinap ke ruangan kepala sekolah. Dengan bermodal lampu senter dari handphone, mereka mulai menyelinap masuk ke ruang kepala sekolah.

          Beberapa menit telah berlalu, namun kedua orang itu masih tidak menemukan apapun. Semua lemari yang ada di ruangan tersebut telah mereka buka satu persatu, tetapi tidak menemukan apapun. Ada beberapa kardus yang terletak di bawah meja kerja kepala sekolah, mereka belum sempat membuka kardus tersebut. Ketika mereka membukanya, mereka mendapatkan sebuah jas hujan yang masih basah.

          "Lho, ini jas hujan baru dipakai pasti. Kok disimpan di bawah meja gini? Pak Mahendra berarti ada di sekitar sini," ujar Ian yang masih memegang jas hujan basah itu.

          "Kalau emang ada Pak Mahendra, tapi kok sepi banget kayak gak ada siapa-siapa?" Tanya Griselda sambil masih melihat-lihat berkas yang ada di lemari. Detik kemudian terdengar suara langkah kaki yang bergema dari koridor sekolah. Mendengar itu, mereka bergegas pergi dari ruangan itu.

          "Hey! Ngapain kalian dari ruangan saya?!" Teriak Madendra saat dua orang itu telah berlari menjauh dari ruangannya. Mahendra bergegas memasuki ruangannya, dia melihat jas hujannya telah tergeletak di lantai. Pria itu berdecak kesal sambil memperhatikan kedua orang itu berlarian.

Behind The SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang