Setelah mengumpulkan tekad yang bulat, mereka memulai aksinya. Memulai dengan membiarkan Griselda berjalan sendirian di lingkungan sekolah, serta Ian mengikutinya namun sambil bersembunyi. Tujuan mereka agar memancing sang pelaku, sehingga mereka akan mengetahui siapa dalang dibalik semua ini.
Menunggu hingga hampir lima belas menit, hingga akhirnya hari pun mulai menggelap. Lampu-lampu di sekitar sekolah, anehnya tidak menyala. Mereka mulai merasa ada kejanggalan, dengan demikian mereka mulai hati-hati. Khawatir dengan Griselda, Ian mengirim pesan teks— "Lo yakin dengan pilihan ini? Gak cancel? Gue khawatir sama lo, takutnya gue gak bisa handle". Wanita itu meliriknya, lalu menjawab dengan anggukan. Detik kemudian, seorang pria bertubuh besar tiba-tiba menyeret Griselda pergi. Dengan gesit, Ian mengikutinya.
Hening. Ian tersentak melihat ruangan gudang yang ia pikir hanya ada barang-barang rusak nan berdebu, ternyata di sana ada pintu rahasia di balik lemari. Sebelum memasuki ruangan itu, Ian terlebih dahulu menelpon polisi. Nafasnya sesak, saat masuk ke dalam ruangan tersebut. Ia melihat banyak sekali percikan darah dimana-mana, dia yakin bahwa itu adalah darah para korban sebelumnya. Melirik Griselda di ujung sana, wanita itu tengah terikat oleh tali dengan posisi duduk di kursi.
Pria yang masih mengenakan jas hujan hitam itu tengah menata pisau-pisau yang mungkin akan dipakainya nanti. Jantung Ian berdebar tak karuan, begitu pula dengan Griselda. Keduanya saling bertatapan, seolah berkomunikasi satu sama lain. Keringat dan air mata sudah bercucuran di wajah wanita itu.
TREK!
Sial, Ian tak sengaja menginjak potongan kursi yang sudah rapuh. Ian lebih terkejut saat melihat wajah sang pelaku yang tengah meliriknya. Kikuk, dia tidak bisa berbuat apapun. Perasaannya campur aduk— kaget, takut, bingung. Beliau adalah orang yang selalu Ian bangga-banggakan.
"Oh, hai. Ian" Sapa pria tersebut sambil tersenyum, sembari memegang pisau.
"Pak Mahendra? Bapak ngapain disini? Kok---"
"Kamu tahu kan saya benci orang bodoh? Bagi saya, orang sejenis wanita itu adalah orang-orang yang tidak berguna. Apalagi dia hanya mengandalkan uang. Sangat menjadi beban bukan?" Sambil menyeringai, Mahendra mendekati Griselda. Seolah sudah siap, tangan yang sedang memegang pisau itu menempel di leher Griselda.
"Apa Bapak juga merupakan pelaku dari pembunuhan Pak Bambang?" Tanya Ian untuk memastikan. Mahendra menjawab dengan anggukan.
"Pria tua bangka itu sangat mengganggu aktivitasku. Dia selalu saja berhasil membuatku gagal untuk melakukan semua ini. Dia adalah beban hidupku, terlebih lagi dia merupakan orang tua dari salah satu anak-anak bodoh itu." Mahendra tak kunjung menurunkan pisaunya.
"Tunggu pak, kita selesaikan secara kepala dingin dulu." Wajah Ian panik tak karuan, berusaha membujuk Mahendra. Nyalinya sebenarnya sudah merosot hingga ke dengkul saat mengetahui bahwa pelaku dari semua ini adalah sang Kepala Sekolah.
"Saya terlihat marah memangnya?" Alis Ian mengerut, sialnya perkataan Mahendra benar. Pria itu sangat tenang, damai.
"Pak, tolong jangan seperti ini. Griselda sudah bicara dengan saya, dia akan memperbaiki semuanya. Dia akan mulai giat belajar mulai sekarang, jadi tolong Pak hentikan semua ini." Dengan posisi berlutut, Ian memohon kepada pria yang ada di hadapannya.
"Sialnya, aku tidak percaya perkataanmu. Come on Ian, kau cinta padanya? Yang benar saja. Saya tahu, kamu bukan orang yang mudah mempercayai orang." Tertegun, Ian hanya memandang Griselda. Beberapa menit, ruangan itu dipenuhi keheningan. Sedangkan Mahendra masih asik dengan pisaunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The School
Mystery / ThrillerRian yang merupakan salah satu siswa di SMA Gelora Gistara merasakan keanehan di Sekolahnya itu, karena selalu ada saja siswa atau siswi yang meninggal saat mendekati hari-hari kenaikan kelas. Pria itu bertemu dengan seorang wanita bernama Griselda...