08

3 1 0
                                    

          Tanpa merasa lelah, Griselda terus mengikuti pria tua yang sedang mengepel lantai itu. Setiap kali dia mendekatinya, pria itu selalu menghindar dan bergegas pergi menjauh dari wanita itu. Mengingat rencananya, Griselda harus bisa membujuk Bambang untuk dapat berbicara dengannya.

          Di sisi yang sama, Ian juga melakukan hal yang sama. Dia selalu membujuk Bambang agar bisa berbicara dengannya. Berbagai macam alasan telah dilontarkan olehnya, namun dia masih belum kehabisan akal untuk terus membujuknya.

          Sesekali mereka sengaja mengotori lantai, agar pria tua itu dapat menghampiri mereka. Namun, yang menghampiri mereka bukanlah orang yang mereka harapkan. Sama seperti mereka, pria tua itu juga tak kehabisan ide untuk menghindar berkontak dengan mereka.

          Hampir seharian penuh, mereka habiskan waktu untuk membujuk pria itu. Namun, masih belum berhasil sampai saat ini. Tak ada pilihan lain, mereka akhirnya melakukan rencananya yang paling akhir.

          Saat tengah asyik membersihkan ruangan gudang, Ian menyelinap masuk dan bersembunyi di tumpukan-tumpukan kursi yang sudah rusak. Sedangkan Griselda, masuk dengan sengaja agar fokus Bambang terpecah. Wanita itu segera mengunci ruangan gelap itu, lalu melemparkan kuncinya ke arah tumpukan kaleng-kaleng yang tak terpakai.

          Detik kemudian, Ian dengan sigap mendekap pria itu lalu mengisyaratkan Griselda untuk memberikannya seutas tali. Dengan posisi terikat, Bambang didudukan di sebuah kursi berdebu.

          "Udah deh, Bapak ngaku aja. Bapak kan yang ngelakuin semua ini?!" Dengan suara yang bergetar, Griselda membentak pria tua itu.

          "Sumpah, saya berani mati sekarang! Bukan saya!" Bambang tetap bersikeras membantah perkataan dari kedua orang itu.

          "Halah, terus Bapak ngapain buang jas hujan itu?!" Ian menyodorkan sebuah jas hujan berwarna hitam itu ke depan mata Bambang.

          "Saya disuruh sama Pak Mahendra untuk membuang jas tersebut," jawabnya dengan sedikit ragu.

          "Jangan bawa-bawa nama Pak Mahendra, pinter banget buat manipulasi." Ian seolah tak terima nama kepala sekolah itu disebutkan.

          "Terus Bapak ngapain bawa buku agenda ini?" Ian bertanya lagi.

          "Saya justru mau kembalikan buku itu dari ruangan Pak Mahendra."

          "Kalau kalian masih gak percaya, coba cek tahunnya. Tahun pertama kali saya kerja dan tahun pertama kali terjadinya semua ini." Sambungnya sambil berusaha membukakan tali yang mengikat badannya.

          "Tahun berapa emang Bapak bekerja?" Tanya Griselda.

          "Saya mulai bekerja tahun 2018, itupun karena anak saya menjadi korban dari tragedi semua ini. Saya juga ingin menemukan siapa pelaku sebenarnya. Saya bukan pelaku yang kalian cari." Tetesan air mata itu jatuh dari mati Bambang. Pria itu terhuyung lemas mengingat masa lalunya.

          Semua terdiam, ruangan itu hanya diisi dengan suara isakan Bambang. Griselda terlihat sangat menyesali perbuatannya, begitu pula dengan Ian. Akhirnya mereka melepaskan ikatan itu dan membiarkan Bambang bebas.

          "Saya mohon kepada kalian, tolong tangkap si pelaku. Saya rasa, saya tidak bisa menangkap pelaku tersebut. Saya terlanjur sudah dikenali oleh si pelaku." Pernyataan itu membuat mereka tersentak. Bambang mengetahui sang pelaku.

          "Bapak tahu pelakunya siapa?" Ian memastikan kembali.

          "Iya, saya tahu. Tapi saya tidak bisa memberitahu kalian disini. Besok kita bertemu saja di balkon sekolah, sore hari." Pernyataan itu menutup pertemuan mereka.

Behind The SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang