06

6 2 0
                                    

          Suasana pada hari itu penuh dengan semangat kompetisi yang sehat dan kegembiraan ilmiah. Sebuah ajang yang mempertemukan para siswa paling cerdas dari seluruh penjuru negeri itu dihadiri oleh Ian dan teman-teman sejawatnya.

          Para peserta, dengan seragam tim mereka, bergerak cepat membawa catatan dan alat-alat penelitian. Sorot mata mereka fokus, tangan mereka cekatan, dan pikiran mereka berpacu untuk menyelesaikan masalah yang rumit.

          Di sudut lain, juri yang terdiri dari para ahli berdiskusi dengan serius, menilai setiap proyek dengan kriteria yang ketat. Mereka mencatat, bertanya, dan terkadang terlihat terkesan dengan inovasi yang ditampilkan.

          Di antara sesi, peserta berbagi cerita dan pengalaman mereka, membentuk jaringan persahabatan yang mungkin akan bertahan seumur hidup. Mereka tidak hanya berkompetisi, tetapi juga belajar satu sama lain, menghargai keragaman pendekatan dan pemikiran.

          Di dalam ruangan, sorotan lampu terasa seperti panas matahari. Juri dengan ekspresi tak terbaca menatap langsung ke arah Ian, menunggu untuk terkesan. Setiap kata, setiap angka, setiap grafik dipresentasikan dengan harapan akan mendapat pengakuan dan validasi atas kerja keras yang telah dilakukan.

          Setelah waktu habis, para juri diminta untuk mendiskusikan peserta manakah yang berhak untuk memenangkan olimpiade tersebut. Para juri mengatakan, mereka membutuhkan waktu setengah jam untuk memutuskan siapa yang menang di olimpiade kali ini.

          Tiba-tiba, pintu terbuka dan seorang juri memanggil nama sekolah yang menang di juara ketiga. Detak jantung Ian berdebar semakin cepat, nafasnya menjadi pendek. Nama yang selanjutnya dipanggil masih bukan dari sekolahnya. Pendek harapan untuk juara pertama, Ian ragu dengan dirinya sendiri. Namun kemudian, namanya dipanggil untuk menduduki juara pertama.

          Riuh tepuk tangan pun memenuhi ruangan tersebut, tangis haru dari orang tua para peserta itu menyertai tepukan itu. Rasa bangga terukir dari wajah sang kepala sekolah dan guru-guru Ian. Tangis haru pun turut keluar dari mata Griselda, wanita itu sedari tadi merasakan ketegangan di tengah-tengah olimpiade berlangsung.

          "Dih, ngapain lo nangis?" Tanya Ian saat melihat Griselda di hadapannya.

          "Gue juga gak tau kenapa gue nangis, liat tante nangis jadi ikutan pengen nangis. Padahal gue sama sekali gak ngerti sama olimpiade ini." Tawaan itu memenuhi ruangan, Griselda hanya tersenyum malu.

          Walaupun dia tak mengerti dengan perlombaan ini, tetapi wanita itu tetap memberikan dukungan kepada Ian. Griselda sengaja bolos pelajaran demi menonton dan mendukung Ian.

          "Lho? Mau langsung pulang?" Tanya Griselda saat melihat Ian sudah siap-siap menunggu angkot.

          "Ya iyalah, emang mau ngapain lagi? Makan-makan kayak yang lain? Duit dari mana?" Jawab Ian sambil menengok ke kanan kiri secara bergantian.

          "Udah, ayo kita makan-makan dulu aja. Biar gue yang bayarin. Tante mau kan makan bareng Griselda?" Zainab tersenyum mendengar hal itu, namun Ian menggeleng.

          "Ih, ayolah. Tante Zainab kasian pasti pengen makan enak, anggap aja ini semua bayaran lo karena udah bantuin gue ngerjain tugas." Griselda terus membujuk pria itu.

          "Ya udah, boleh." Mendengar persetujuan itu, Griselda langsung memesan taksi online.

          Mereka pergi ke restoran yang tak terlalu jauh dari lokasi olimpiade tadi. Tempat itu menjadi restoran andalan bagi Griselda, makanan disana dikenal sangat enak. Setibanya di tempat makan, Ian dengan Ibunya terkejut melihat restoran itu.

Behind The SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang