09

2 1 0
                                    

          Hari ini adalah hari pembagian rapor siswa-siswi SMA Negeri Gelora Gistara. Tentunya disertai dengan acara festival, kreasi seni, dan bazar makanan. Para orang tua siswa-siswi sudah pada berdatangan, dikarenakan ini sudah menunjukkan jam dimulainya acara. Seperti biasa, akan dimulai dengan pembukaan dari kepala sekolah. Selanjutnya pengumuman untuk ranking paralel dari setiap kelas serta jurusannya. Tentu saja Ian masuk ke dalam ranking tersebut.

          "Lo masuk sepuluh besar kan?" Tanya Ian kepada Griselda.

          Griselda menjawabnya dengan gelengan. Wanita itu hanya tersenyum, namun matanya menggambarkan kesedihan. Ian hanya bisa menatapnya dengan ekspresi heran. Dia pikir Griselda akan masuk ke dalam ranking paralel, setidaknya juga di sepuluh besar. Pada kenyataannya, tidak.

          "Ian... Sebenarnya, gue takut akan satu hal ini dari kemarin," ujarnya sambil memegang tangan Ian.

          "Apa?" Tanya Ian.

          "Dalam kurun waktu berturut-turut, gue selalu jadi siswa yang memiliki nilai terendah ketiga. Gue disini cuma ngandelin uang dari orang tua." Mata Ian membulat, kaget mendengar penjelasan dari wanita itu.

          "Gue tau itu salah. Gue baru sadar waktu ketemu sama lo. Kita ngabisin waktu bareng, belajar bareng, bahkan hal yang belum pernah gue lakuin sama orang lain, tapi sama lo gue lakuin. Hal itu bikin gue ngerasa hidup lagi, ngerasa punya harapan lagi buat usaha belajar. Tapi, setelah gue tahu kasus ini disebabkan oleh hal itu, gue jadi takut." Griselda mendudukkan kepalanya, tetesan air matanya mulai keluar. Ian menggenggam erat tangan Griselda.

         "Hey, ada gue disini. Walaupun bakalan jadi pahlawan kesiangan, tapi gue janji bakal bikin lo selamat. Kita berjuang bareng, gue yakin kita pasti bisa. Tanpa harus ada korban yang lainnya." Tegas Ian sambil menarik dagu Griselda yang tengah menundukkan kepalanya, lalu ia usap air matanya.

◕◕◕

          Sore hari telah tiba. Sudah berganti pakaian, mereka siap untuk menemui Bambang di balkon sekolah. Menunggu kabar dari pria itu, mereka menghabiskan waktu untuk bersantai di sekitaran sekolah. Disana masih banyak sekali siswa maupun siswi yang berkegiatan. Entah itu hanya untuk berfoto, ataupun bersenang-senang belaka.

          Sepuluh menit berlalu, Bambang tak kunjung memberi mereka kabar. Khawatir lupa dengan janjinya, Ian mencoba menelpon pria itu. Tak ada jawaban. Handphone milik Bambang sudah dipastikan mati. Tak ada cara lain selain mengecek ke balkon.

          Setelah perdebatan panjang, akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke balkon. Berharap Bambang sudah ada di sana. Mereka menaiki anak tangga satu persatu dengan laju yang cepat. Sesampainya di depan pintu balkon, ternyata pintu itu tidak di kunci. Senyum mereka mengembang, senang bahwa di atas sana sudah ada orang.

          Namun, senyuman itu seketika pudar. Griselda menjerit dengan histeris. Melihat apa yang ada di hadapannya itu, Ian merasakan mual. Mereka menyaksikan Bambang sudah tergantung dengan tali yang mengikat lehernya. Mereka tak bisa berkata apa-apa, terdiam mematung untuk beberapa saat.

          Ian dengan cekatan segera menelpon ambulan. Sungguh nahas, mereka tak mendapatkan petunjuk apa-apa. Pria tua itu mengingkari janjinya untuk memberi tahu pelaku sebenarnya. Apa mungkin Bambang sendirilah yang merupakan pelaku? Dan semua yang kemarin ia katakan itu hanyalah alasan semata.

          Ian memberanikan diri bergerak mendekati jasad Bambang. Dia mendekati telepon genggam milik Bambang, benar pernyataanya tadi. Telepon genggamnya mati. Namun, dia juga menemukan seutas kertas yang bertuliskan, 2016.

Behind The SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang