06 ⋆ Belajar

9 0 0
                                    

"Harus banget belajar di sini?" Tanya Rajendra sembari menoleh ke kanan dan ke kiri.

Jay memutar kedua bola matanya malas. "Kalau lo gak mau, lo bisa balik ke kamar." Jawab Jay ketus.

"Gue cuman nanya, sensi amat." Rajendra mendengus, sepupunya ini entah kenapa selalu sensi kepadanya.

"Jadi? Belajar apa dulu?" Ucapan antusias yang keluar dari bibir Naren memutus perdebatan antara sepupu itu.

Remaja itu sepertinya sudah tidak sabar untuk belajar.

Jay mengeluarkan beberapa buku tebal dari tasnya. Cukup banyak. Hampir semua buku pelajaran dia bawa.

"Lo sama Luna bisa milih mau belajar apa. Nanti kalian tinggal baca, terus tanya gue atau Jendra kalau ada yang susah." Jawab Jay sembari menjejerkan semua buku di atas meja.

Naren dan Luna memerhatikan setiap buku dengan seksama. Mencari buku yang menarik di mata mereka. Luna menarik satu buku. Buku bersampul sederhana dengan judul English so Easy!

"Aku pilih ini." Serunya.

Jay dan Rajendra sekarang beralih ke Naren yang masih berpikir. Netra Naren berhenti di salah satu buku yang menurutnya sangat menarik.

Buku dengan gambar manusia yang terlihat seperti Titan di sebuah anime yang pernah dia lihat di sosial media, juga organ dalamnya yang terpampang, berjudul Anatomi Tubuh Manusia.

"Gue pilih ini."

Jay mengangkat alisnya. "Selera lo unik juga." Celetuknya.

Naren hanya tersenyum, tidak membalas dan memilih memulai membaca buku Jay.

Tiga puluh menit diisi dengan keheningan. Hanya ada suara kertas yang dibalik untuk menuju ke halaman selanjutnya, juga decakan kagum dari pengunjung rumah sakit yang ingin mengisi perutnya.

Rajendra yang sedang mengerjakan tugas sekolah berusaha mati-matian menahan malu dari tatapan pengunjung rumah sakit. Bukannya Rajendra tidak menghargai usaha sang Sepupu yang rela keliling rumah sakit untuk memdapatkan tempat yang nyaman.

Namun, haruskah sepupu berototnya itu memilih kantin dari sekian banyaknya tempat di rumah sakit?

"Jen, lo udah sampe nomer dua puluh?" Tanya Jay memutus keheningan tempat mereka.

Rajendra yang sedari tadi mengumpat dalam hati langsung menggeleng. "Gue aja baru nomer dua belas." Jawabnya.

Anggukan Rajendra dapati dari sepupu berototnya itu. Keheningan kembali mereka ciptakan. Sampai-sampai suara berat yang familiar di telinga Naren dan Luna kembali memecah keheningan tersebut.

"Waahh, rajin banget, belajar apa?" Tanya Niel kagum sekaligus terkejut dengan kedua pasiennya yang belajar dengan fokus saat dia lihat dari kejauhan.

"Doctor Niel, please don't disturb." Balas Luna tiba-tiba dengan wajah sombongnya.

Niel terkekeh, mengusak rambut Luna dengan pelan. "Sok-sokan banget pake bahasa inggris." Ledek Niel.

"Tapi, keren, kan?" Sombongnya.

Niel kembali terkekeh. "Iya, keren banget." Pujinya.

Niel beralih pada sang Adik Sepupu yang masih fokus membaca buku bersampul Titan itu.

"Naren." Panggil Niel sedikit keras.

Fokus Naren terpecah, remaja itu menoleh mendapati kakak sepupunya tengah menatapnya dengan raut wajah bingung.

"Kenapa, Bang?" Tanya Naren.

Niel menghela nafasnya. "Ayo balik, kalian gak ada niatan bolos pemeriksaan, kan?" Tuduh Niel pada Luna dan Naren.

Luna dan Naren sontak menggeleng. Niel tersenyum kecil. "Yaudah, ayo." Ajaknya.

Mereka berdua mengangguk. Naren menatap Jay, membuat yang ditatap bingung.

"Emm, gue pinjem bukunya boleh? Secepatnya bakal gue balikin." Izin Naren ragu-ragu.

"Gue kira apaan. Iya, pinjem aja." Jawab Jay santai sembari mengibas-ngibaskan tangannya ke Naren.

"Kalau ini? Boleh gak?" tanya Luna semangat sembari menggoyang-goyangkan bukunya.

Jay terkekeh kecil. "Iya, boleh. Tapi, jangan rusak, dijaga. Bukan punya gue itu soalnya."

Luna memiringkan kepalanya. "Terus? Punya siapa?"

"Punya abang gue, bisa ditabok gue nanti." Jawab Jay.

"Resiko lo. Punya orang main ambil." Cibir Rajendra.

Jay mendelik. "Biarin, Bang Hans gak nyadar juga."

"Sudah, Rajendra, kamu hari ini gak ada pemeriksaan?" tanya Niel melerai kedua sepupu itu.

Rajendra terlonjak, baru ingat jadwal pemeriksaannya. "Aih, gue lupa. Makasih Bang udah ngingetin. Jay, gue titip buku gue, ya." Pamit Rajendra segera pergi dari kantin.

"Eh, jangan ninggalin gue dong!" teriak Jay mencoba mencegah kepergian Rajendra.

"Makasih!" Teriak Rajendra sebelum dirinya tercampur dengan pasien lain.

"Ck, sialan itu anak." Decaknya kesal.

"Mau saya bantuin?" tawar Niel yang langsung dibalas gelengan oleh Jay.

"Gak usah Bang, gue bisa sendiri." Tolak Jay halus.

Niel mengangguk. "Kalau gitu, kami pergi dulu, ya." Pamit Niel beserta Luna dan Naren.

Setelah mereka bertiga hilang seutuhnya dari pandangan Jay. Lelaki bermata boba itu kembali menggerutu sembari memasukkan kembali buku-bukunya.

"Gue kira bakal nawarin lagi." Gerutu Jay. Bukannya Jay tidak mau dibantuin atau gimana, tapi dia gengsi. Masa, dokter satu itu tidak peka sama sekali?

Jay doakan, semoga dokter itu jadi perjaka tua. Canda.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MEI  ||  RENJUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang