Larasita Maira pernah hampir kehilangan nyawa karena memulai pernikahan pertamanya dengan cara yang salah. Kejadian itu cukup mengguncang batinnya, yang kemudian membuatnya sadar dan berusaha memperbaiki diri.
Waktu berlalu, dan Laras kembali dihada...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dirga membuka pagar rumah yang terbuka setengah itu dengan senyum merekah. Ia memang tidak sabar untuk bertemu si penghuni rumah yang ia rindukan setelah dua minggu tidak bertemu.
Beberapa langkah lagi lelaki berkemeja hitam itu mencapai undakan tangga teras, pintu tampak terbuka dari dalam. Kedua sudut bibirnya kembali tertarik ke atas membentuk lengkungan sempurna pada wajahnya ketika melihat Laras keluar dari sana. Sosok yang ia rindukan itu, tampak cantik mengenakan dress rumahan berwarna marun yang dilapisi apron hitam. Rambut panjangnya tergelung, memamerkan leher jenjang yang Dirga hafal aromanya.
"Kenapa lagi, Ai?" tanya Laras.
"A...." Kata yang akan Dirga ucapkan tertahan diujung lidah. Ia terkejut. Secara otomatis raut bahagianya tadi berubah menjadi bingung. Ia sampai menoleh ke kanan dan kirinya mencari siapa yang Laras maksud.
"Aku kira tadi yang datang Aidan, Mas!" ucap Laras tanpa rasa bersalah.
Dirga menyembunyikan seringai di wajahnya sembari menaiki undakan tangga menuju teras. Bocah itu rupanya, Dirga membatin sebal.
"Mas, kok pulang nggak ngabarin?"
"Anak itu sering datang kesini?"
Laras tercengang sesaat mendapat balasan pertanyaan dari Dirga. "Aidan? Sering, sih!"
"Selama aku nggak pulang?"
"Hampir setiap hari."
"Apa?"
"Apa?"
Dirga masuk ke dalam rumah diikuti Laras yang kebingungan. Bukannya menuju kamar, ia berbelok ke dapur. "Memang habis ada kiriman pesanan?"
"Iya."
"Memang, nggak ada ojek lain selain anak itu?"
Laras yang hampir mengerti situasi kemudian mengambil alih tas di pundak Dirga. Ia juga menarik kursi, menyentuh lengan suaminya dengan lembut dan menyuruhnya duduk. Dengan sedikit menunduk, Laras mencoba menatap mata sang suami. "Aku buatkan teh atau kopi?"
"Apa saja." sahut Dirga seraya berusaha memalingkan pandangan.
"Mau yang dingin atau yang dingin?" tanya Laras lagi.
Dirga pun terpaksa menoleh.
Laras tak dapat menahan senyum. Ia berjongkok, kedua tangannya membingkai wajah muram sang suami. "Kalau lagi panas gini, butuhnya yang dingin-dingin nggak, sih?"
Dirga tersenyum miring, tetapi tangannya menyentuh hangat tangan Laras.
"Masa cemburu sama anak kecil, Mas?" Laras meledek. "Dia sebelumnya ngadu sama aku, kalau kamu pernah bersikap sinis sama dia."
"Harus!" Dirga menegaskan. "Kalau dibiarkan bisa jadi bibit pebinor!"
"Maksudnya dia bakal ngerebut aku dari kamu?" Laras tergelak. "Berlebihan deh kamu, Mas!"