Morning guys:)
apa kabar kalian hari ini?
semoga selalu semangat dalam menjalani hari-hari kalian!
*ayo ramein vote dan komennya!***
Abian menghela nafas panjang. Sudah sedari tadi ia menahan kantuk, namun selalu ditahan agar tidak jatuh oleh Yasmin.
Hari Minggu yang cerah, selepas sholat dhuha, Abian diajak oleh Yasmin melakukan amalan rutinnya selama di pondok pesantren. Yakni, Murojaah.
Hafalan Abian memang tidak sebanyak Yasmin yang tengah belajar di sebuah pondok pesantren terkenal di Bogor. Tidak pula sebanyak Ghassani yang bersekolah di SMPIT full day school, yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumahnya. Bahkan, Ghassani mulai menghafal Al-Qur'an sejak umur nya belum genap empat tahun.
Abian hanyalah Abian. Abian yang suka memberontak, yang sedari dulu tidak menginginkan lingkungan pondok pesantren maupun sekolah islam.
***
"Kenapa Abang nggak mau mondok, nak? Disana pondoknya bagus, fasilitasnya lengkap. Sudah terjamin masa depan yang cerah jika Bian sekolah disana." Shafiya berucap lirih sembari mengusap lembut kepala Abian.
"Jadi menurut Ummi, kalo Bian nggak sekolah disana, masa depan Bian bakal suram gitu?" Abian menatap Shafiya dengan pandangan kecewa.
Padahal impianku selama ini sekolah di akademi militer, monolog Abian.
"Nak, maksud Ummi bukan seperti itu. Ummi dan Abah hanya ingin Bian menjadi seperti Kak Yasmin-"
"Ummi dan Abah memaksaku ingin menjadi seperti Kak Yasmin?!" Bendungan air mata itu runtuh pertahanannya. Abian tak kuasa lagi menahan tangisnya.
Ahmad yang sedari tadi duduk di sofa hanya terdiam. Tangannya terkepal erat, urat-urat di wajahnya terlihat. Kalau sudah tidak ditahan, mungkin anaknya sudah babak belur habis di buatnya.
"Ummi, sudah. Biarkan saja dia menangis meratap tidak ingin sekolah di pondok pesantren!" Ahmad beranjak dari duduknya. Berjalan berlalu tanpa sudi menatap Abian yang menatap harap kepadanya.
Shafiya menghela nafas. Ia menatap kedua laki-lakinya bergantian.
Percayalah, Nak. Pilihan Ummi dan Abah untuk memondokkanmu tidak salah, batin Shafiya.
Empat bulan setelahnya.....
"Ummi titip Abian ya, nak. Jaga dia seperti adikmu sendiri" pesan Shafiya kepada Dzaki-anak dari kakak tertuanya.
Dzaki mengangguk, ia merangkul bahu Abian erat. "Bulik jangan khawatir..."
Tak ada momen perpisahan yang cukup lama. Abian tak menangis lagi kali ini, ia hanya menatap datar Shafiya yang menangis tersedu-sedu berpisah dengannya.
Ia hanya menginginkan kebebasan. Tanpa lingkungan pondok pesantren yang baginya seperti penjara.
"Bian, nggak makan?" Dzaki menatap keheranan. Pasalnya matahari akan tenggelam pun, Abian bahkan kuat tanpa makan seharian.
Abian menggeleng lemah. "Gue benci, Bang."
"Kenapa?" Dzaki yang tidak mengerti terkejut dengan apa yang dikatakan Abian.
"Gue terpaksa masuk disini. Gue nggak mau! Gue nggak suka!"
Dzaki cukup terkejut dengan penuturan sepupunya. Ia menepuk pelan punggung Abian. "Lo ngomong apa sih? Dulunya Abang juga terpaksa disini, tapi lama-lama, seiring waktu berjalan..."
"Lo bakal menikmatinya, Abian."
Abian menggeleng tak percaya. "Nggak akan!" Ia berlari keluar dari kamarnya.
Dzaki yang baru makan sesuap, buru-buru mengejarnya. Di telannya makanan didalam mulut sambil berjongkok, lalu berlari menyusul Abian.
"Bian! Sudah berapa kali saya menegur kamu?" Salah satu Musyrif nya menjewer telinga Abian.
"Maaf Ustadz,"
"Bian! Kenapa saat pelajaran tafsir tadi kamu tidak datang?"
"Kenapa kamu tidak mengikuti sholat berjama'ah di masjid hari ini, Abian?"
"Kemarin kamu berjanji tidak akan mengulanginya lagi, hari ini diulangi kembali?"
"Bian, kamu tidak ikut kajian kitab lagi?"
"Fadhil Abian Nugraha!"
Surat berbalut amplop dari pengasuhan di terima. Ia letakkan di atas meja, tanpa minat membukanya.
Dzaki berkunjung ke kamar, membawakan lauk dari kiriman paket. Ia menatap amplop putih yang masih terlipat rapi di atas lemari Abian.
"Ini apa yan?" tanya Dzaki menunjuk amplop tersebut.
Abian mengangkat bahunya acuh tak acuh.
"Buka aja kalo Abang penasaran,"Dzaki meraih amplop yang menarik atensinya. Di bukanya perlahan.
Belum sampai dua menit, ia menyodorkannya kepada Abian. "Bacalah"
Abian menurut, di ambilnya surat tersebut dari sepupunya. Tidak ada reaksi sama sekali, juga tidak ada perubahan ekspresi dari raut wajahnya.
"Sudah nggak heran lagi," Dzaki menatapnya kecewa, namun sambil tersenyum.
"Pulanglah ke rumahmu Abian, seperti perintah di surat itu."
***
Akhirnya up lagi!!
gimana bab ini menurut kalian?
keterangan :
*Murojaah >> mengulang hafalan, guna memperkuat hafalan agar tidak mudah lupa.
*Musyrif/ah >> Ustadz/ah atau yang mengawas di asrama.
satu kata buat Abian?
satu kata buat Dzaki?
spam next di kolom komentar🤗
part 02
>> 10 Juni 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIANARA
Teen FictionTanpa diduga sekalipun, Nara menemukan cinta pertamanya di perpustakaan. Ralat, di parkiran. Baru hari pertama, sudah boncengan sepeda berdua. Walau dengan alasan konyol-Abian yang iseng menumpang. Masalahnya, Abian cowok misterius yang tertutup den...