Maaf, yang kilas balik si Bian gantung.
Btw, selamat membaca:)***
BRAKK!
Seorang cowok dengan rambut acak-acakan, datang menghampiri Nara. Tangan kekar itu menggebrak mejanya tanpa aba-aba.
"Hei, Lo yang katanya anak pindahan dari pesantren itu?" ucap cowok tersebut, telunjuknya menunjuk Nara.
Wajah Nara berubah pucat basi. Ia masih ingat siapa cowok berandal ini. Cowok yang menabraknya saat MPLS hari kedua. Cowok yang menumpahkan air minumnya.
Dia...
Gibran Razaq!
Nara tak sanggup berkata-kata. Matanya berputar, memandang ke segala arah karena ngeri akan tatapan dari Gibran. Ia meremas tangannya kuat-kuat, menahan rasa takut.
"Katanya anak alim, kok sekolahnya di SMA negri?!" bentak Gibran. Nada bicaranya naik satu oktaf.
"G-gue sekolah disini karena Ayah. Gue juga nggak pengen sekolah di–"
Nara gelagapan menjawab. Lidahnya terasa kelu, karena terlalu takut."Kalo Lo nggak mau sekolah disini, kenapa tetep masuk dodol!" seru Gibran.
Ia menarik jilbab yang Nara kenakan dengan kasar."Asal lo tau ya, gue paling muak liat muka Lo disini!"
"Mending Lo pergi dari sini! Jilbab lebar-lebar yang Lo pake nggak ada gunanya!"
Ingatan tersebut masih membekas di pikirannya. Masih dan akan selalu membekas.
Nara menggertakkan giginya kesal. Ia sungguh menyesal kenapa terlalu bodoh untuk pasrah saat dibully dengan teman-temannya.
Kenapa saat itu dia tidak memberontak?
Kenapa saat itu dia malah tidak membela dirinya?
Kenapa dirinya harus kalah di tangan cowok belagu seperti Gibran?
"Shit!" umpat Nara pelan. Ia menggelengkan kepalanya.
Kenapa di saat seperti ini sekelebat masa lalunya harus terlintas?
"Ck. Kalo Lo mau menang olim kali ini, fokus Nara!" gumamnya dalam hati
***
"Pagi Nara!" sapa Mentari hangat. Tangannya dengan cepat merangkul bahu Nara.
"Pagi Mentari!" balas Nara ceria. Sedikit aneh melihat Mentari yang tiba-tiba merangkulnya cukup erat.
"Nanti bantuin gue ngerjain pr biologi ya? Hehe" pinta Mentari menampilkan wajahnya yang cengengesan.
Raut wajah Nara yang ceria sirna seketika. Sudah ia duga, kalau aneh-aneh, Mentari pasti ada maunya!
Manik hazel itu berotasi ke sana kemari. Nara jengah sekali melihat kelakuan sahabatnya yang seperti ini. Pemalas dan banyak maunya!
"Males banget, ah!" ujar Nara langsung melarikan diri.
"Eh, Nara! Tunggu!"
"Iya, iya. Gue tau, gue males. Nanti gue bantuin MTK deh, ya?"
Bukan Mentari jika tak pantang menyerah. Sebisa mungkin wajahnya memelas sampai tampak seperti bocah yang ingin dibelikan mainan baru oleh Emaknya.
Dahi jenong milik Nara mengernyit.
"Lo pikir gue nggak hafal jadwal pelajaran? Nggak ada mapel MTK hari ini!""Iyaa! Gue salah, maaf..." Mentari kembali mengejar langkah Nara. Dadanya terasa sesak karena terengah-engah mengejar Nara.
Ia berhenti begitu melihat Nara berhenti berlari di depannya. Mentari berhenti dengan keadaan yang masih ngos-ngosan.
"Puas bikin gue keringatan pagi-pagi?" ketus Mentari kesal.
"Belum," Nara menjawabnya sambil tersenyum disertai dengan gelengan.
"Luntur sunscreen gue, Ra. Udah, please!"
Nara berdecak pelan. "Ck, lemah Lo. Gini aja udah ngeluh," ejeknya.
"Lo nantangin gue? Bisa aja sih, Ra. Cuman kalo asma gue kambuh, Lo juga yang repot."
"Ya udah, itu! Makanya cepetan kita ke kelas, terus selesain pr biologi Lo!" Tanpa ba-bi-bu, Nara langsung meraih lengan Mentari agar lekas berjalan cepat.
"Lah, yang ngajakin gue main lari-larian siapa?"
"Bacot"
***
"Eh, Nara. Lo tau?" Mentari yang sedang me-reply sunscreen, menatap sahabatnya melalui cermin.
"Apa?" Nara bertanya balik. Jemarinya masih sibuk meratakan moisturizer di wajahnya.
"Katanya bakal ada olimpiade bahasa indonesia juga lho," Mentari melirik Nara melalui ekor matanya. Mencoba memahami maksud dari ekspresi wajahnya.
"Terus?"
"Ya, Lo kan suka baca novel dan menulis diary. Jadi, mungkin nggak ada salahnya gue kasih tau info ini 'kan?" bela Mentari.
Nara mengangguk kecil. "Thanks,"
"Eh, btw. Lo masih lanjut belajar astronomi buat olim?" tanya Mentari basa-basi.
"Iya, masih." jawab Nara yakin.
"Ra, gue saranin banget, Lo ikut olimpiade bahasa indonesia!" seru Mentari tiba-tiba.
"Loh, kenapa? Kok tiba-tiba?" tanya Nara heran. Pasalnya saat ia memilih bidang astronomi pun, Mentari akan selalu mendukungnya.
"Impian Lo dulu pengen jadi penulis 'kan, Ra? Ayo jadi penulis! Gue pengen baca karya-karya Lo, Nara." ucap Mentari penuh keyakinan. Matanya berbinar menatap Nara. Ia berusaha terus terang meyakinkan, bidang bahasa sangat cocok dengan Nara.
Pipi Nara bersemu. Jujur, ia sedikit malu cita-cita masa kecilnya diketahui. Tapi sejurus kemudian ia mengangguk, ada baiknya mengikuti nasihat dari sahabatnya.
"Gue tunggu keputusan Lo, Nara." senyum Mentari mengembang.
***
Really?! Jadi kira-kira Nara bakal milih olim apa ya?
tekan emot ini 💜 untuk olim astronomi
tekan emot ini 💙 untuk olim b. indo
spam next jika ingin cerita ini lanjut👇🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIANARA
Novela JuvenilTanpa diduga sekalipun, Nara menemukan cinta pertamanya di perpustakaan. Ralat, di parkiran. Baru hari pertama, sudah boncengan sepeda berdua. Walau dengan alasan konyol-Abian yang iseng menumpang. Masalahnya, Abian cowok misterius yang tertutup den...