04. Dia Cahaya

20 10 2
                                    

cerita ini memang ber genre spiritual romantis, jadi jangan kaget:)

***

"Cahaya?"

Nara mengerjapkan matanya perlahan. Cahaya matahari menerobos masuk tanpa permisi, menyebabkan matanya menyipit kesilauan.

Ia mengusap wajahnya kasar, lalu menghela napas. "Hanya mimpi,"

Tok tok tok!

"Nara?" panggil Sekar seraya mengetuk pintu kamar anaknya.

"Iya, Bu. Nara udah bangun!" sahut Nara dari dalam. Tubuhnya masih terasa berat untuk meninggalkan kasur.

Tangannya menggapai ponsel di atas meja dan mengeceknya.

573 pesan belum terbaca

Nara beranjak duduk, dan memeriksa pesan yang tertera paling atas.
Dari Dokter Laras, dokter yang biasa menangani penyakit Ibunya.

dr. Laras

Cahaya, ingatkan ibu untuk HD hari ini ya
Jam 10.45 sudah ada di RS

---

Nara menghela napas berat. Ia memejamkan matanya perlahan. Dari lubuk hati terdalamnya, ia sudah tau. Ibunya tidak akan bertahan lebih lama lagi.

***

"Nak, Ayah minta maaf. Kamu tidak bisa melanjutkan pendidikanmu disana, uang Ayah tidak cukup untuk menyekolahkan Nara di pondok itu."

Nara yang kala itu berusia empat belas tahun hanya dapat terisak menahan tangis.

Mimpinya yang ingin melanjutkan belajar di pondok pesantren sampai tuntas, sudah pupus. Ia harus segera mengubur keinginan untuk melanjutkan studinya ke Al-Azhar, kampus ternama di Mesir dengan segala sejarahnya.

"Kenapa? Ayah nggak ingin lihat anaknya jadi Ustadzah? Apa Ayah masih berpikir, orang yang kerjaannya Ustadzah itu kampungan? Apa Ayah ingin aku mengambil jurusan hukum dan dokter seperti Kakak?" Bulir-bulir bening meluncur mulus di pipinya. Tatapan kecewa ia tujukan kepada sang Ayah.

"Yah, tolong jangan samakan aku dengan Kak Tiara dan Kak Fathir! Kami berbeda! Bahkan Kak Tiara sudah 6 tahun belum mengambil gelar sarjana, Yah! Kak Fathir selalu keluar malam-malam hanya untuk main game, Ayah.

Nara hanya ingin jadi anak yang lebih baik, Yah. Ingin mendo'akan Ayah dan Ibu, ingin memasangkan Ayah dan Ibu mahkota di syurga. Apa cita-cita Nara salah, yah?"

Farhan terdiam seribu bahasa. Si bungsunya benar-benar berbeda dari kedua anaknya yang lain. Nara sudah tumbuh jauh lebih dewasa daripada kakak-kakaknya.

"Atau Ayah membedakan aku dengan kakak-kakak? Hanya karena aku anak Ibu? Bukan anak Bunda?"

***

"Cahaya Anara Lestari,"

Nara lekas mengangkat tangannya. Seorang senior yang bertugas menjadi panitia selama MPLS menghampirinya.

"Kenapa pake rok, dek? Hari ini kostumnya baju olahraga," terang senior tersebut.

Nara hanya menggelengkan kepalanya. Ia gelagapan menjawab pertanyaan dari seniornya.

"Anu, Kak. Aku dari pondok pesantren." cicit Nara takut-takut.

Senior tersebut tersenyum sambil mengangguk-angguk.

"Nggak akan mengganggu kegiatan MPLS ini 'kan, Kak?" tanya Nara meragu. Memang ia lihat, kebanyakan teman-temannya memakai baju olahraga dan celana training saat registrasi tadi.

Senior tersebut terkekeh kecil, menggeleng pelan. "Enggak dong, Nara. Santai aja,"

"Oh, iya. Kenalin nama kakak Zahra, panggil aja Kak Zahra ya!" Gadis berjilbab bergo putih itu mengulurkan tangannya. Menandakan ingin berkenalan kepada sang gadis di hadapannya, yang sedari tadi menarik perhatiannya.

"Salam kenal Kak Zahra," Nara menyambut uluran tangan tersebut dengan hangat.

"Dulunya Kakak ketua rohis disini." ujar Zahra. Yang membuat Nara terkejut dan menjadi tidak enakan.

"Tapi sebentar lagi masa jabatan kami habis. Jadi Lo santai aja," lanjut Zahra.

Nara yang mendengarnya hanya manggut-manggut mengerti. "Iya kak" balasnya sopan.

Di dalam hati Nara bersyukur, untung ada senior sebaik Zahra. Dirinya takut sekali jika tidak bisa berbaur di sekolah umum, terlebih lagi sekolah ini terlalu bebas menurutnya.

BRUKK!

"Ah, sorry. Gue nggak sengaja!" Seorang cowok menabraknya tanpa disengaja.

Botol mineral yang hendak di minumnya tadi, menjadi tumpah ke lantai.
Cowok yang menabraknya tadi, tak mempedulikannya.

Nara berdecak kesal, sampai giginya bergemeletuk cukup kuat.

Dari ujung matanya Nara dapat melihat. Sebuah nama yang tertulis di kertas, yang biasanya dikalungkan pada leher peserta MPLS.

"Gibran Razaq,"

***

tungguin Abian dan Nara semasa SMA yaa!

spam vote+like nya ya readers sayang😘

part 04
>> 12 Juni 2024

ABIANARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang